Proyek Jurassic Park Pulau Rinca Ditolak Forum Masyarakat Pariwisata, Sebabnya?
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 15 September 2020 05:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat menolak pembangunan ala Jurassic Park di Pulau Rinca, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Mereka tak setuju proyek itu karena dikhawatirkan bakal mengancam habitat komodo.
“Kami yang tergabung dari berbagai elemen pelaku wisata dan pegiat konservasi menolak tegas pembangunan geopark di kawasan Loh Buaya (Pulau Rinca),” tutur anggota Formapp, Venan Haryanto, saat dihubungi Tempo, Senin, 14 September 2020.
Venan mengatakan, pembangunan sarana-prasarana yang ditengarai bakal berbasis beton bertentangan dengan habitat Komodo yang ditetapkan sebagai area konservasi nasional. Musababnya, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 306 Tahun 1992 tentang pembentukan Taman Nasional Komodo, kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan alami.
Selanjutnya, Venan menilai pembangunan geopark akan menghancurkan bentang alam kawasan Pulau Rinca. Hal ini pun diyakini tak sesuai dengan klausul pembangunan kawasan konservasi seperti yang diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutuanan.
Kemudian, Venan menyebut pembangunan sumur bor sebagai bagian dari sarana dan prasarana Pulau Rinca akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Dia khawatir keberadaan sumur bor justru akan mematikan sumber-sumber air di kawasan Pulau Rinca, yang selama ini menjadi tempat hidup satwa liar.
“Pembangunan seperti itu sangat mencederai desain besar pembangunan pariwisata serta sangat merugikan kami sebagai para pelaku wisata dan masyarakat Manggarai Barat,” tuturnya.
<!--more-->
Seumpama benar-benar terealisasi, Venan mengatakan pembangunan Pulau Rinca akan berpotensi mengancam sektor pariwisata berbasis alam sebagai produk utama Labuan Bajo. Lebih lanjut, pembangunan Pulau Rinca diduga hanya melayani kepentingan investor.
Sementara itu, Ketua Formapp Aloysius Suhartim Karya mengatakan kelompoknya menuntut pemerintah segera menghentikan rencana pembangunan sarana dan prasarana di kawasan Pulau Rinca. “Kami juga menuntut pemerintah untuk membuka informasi seluas-luasnya terkait dengan pembangunan dan segera melakukan konsultasi publik terlebih dulu,” ucapnya.
Formapp juga mengutuk upaya mengalihfungsikan Taman Nasional Komodo menjadi kawasan investasi. Alih-alih membuka ruang investasi yang merugikan, kelompok masyarakat itu meminta pemerintah untuk meningkatkan upaya pelestarian di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan Flores sebagai bentuk pemeliharaan aset jangka panjang.
Sejauh ini, Formapp tiga kali melayangkan protes, namun tak memperoleh respons dari pemerintah. Protes pertama berupa unjuk rasa di kantor DPRD Manggarai Barat. Kemudian, Formapp telah mengirimkan surat ke Komisi Komisi IV, V , dan X DPR. Terakhir, kelompok itu melayangkan surat ke UNSECO dan UNEP pada 9 September 2020.
Protes pembangunan kawasan wisata Pulau Rinca juga ramai di media sosial. Akun @KawanBaikKomodo mengunggah desain pembangunan Pulau Rinca dalam bentuk video. Dalam tayangan kurang dari dua menit, tampak sebuah diorama Pulau Rinca yang telah disolek menjadi sebuah kawasan dengan elevated deck. Bangunan dalam pulau terlihat melingkar dengan animasi komodo yang berkeliling di sekitarnya.
“Presiden @Jokowi, Menteri @SitiNurbayaLHK, Unesco @unescojakarta 1. Hentikan proyek2 perusak ekosistem alami Komodo; 2. Cabut izin resort PT SKL,PT KWE, PT SN; 3. Hentikan alihfungsi P.Muang & Bero; 4. Stop rencana wisata eksklusif P. Komodo&rencana relokasi warga; #SaveKomodo,” tulis akun tersebut.
<!--more-->
Kepala Dinas Pariwisata NTT Wayan Darmawa mengatakan pembangunan Pulau Rinca mempertimbangkan keamanan bagi pengunjung wisata. “Sarana dan prasarana itu kan memisahkan area komodo dan pengunjung sehingga tidak ada kemungkinan yang membahayakan,” ucapnya saat dihubungi Tempo.
Ia mengatakan pembangunan pun tidak menyeluruh, melainkan hanya dipusatkan di salah satu kompleks. “Di kompleks gedung yang dulu orang liar orang pegang komodo, nah pembangunan hanya dilakukan di sana,” ucap Wayan.
Pada Juli lalu, Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air (SDA) dan Ditjen Cipta Karya melakukan penandatangan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan (LHK) di Ruang Rapat Sekretariat Jenderal Kementerian LHK, Jakarta. Kerja sama ini terkait rencana pembangunan infrastruktur Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo.
Melalui perjanjian tersebut, Kementerian PUPR akan memberikan dukungan pembangunan infrastruktur seperti jalan gertak elevated seluas 3.055 meter persegi; penginapan petugas ranger, peneliti, dan pemandu wisata seluas 1.510 meter persegi.
Kemudian, pusat informasi seluas 3.895 meter persegi; pos istirahat seluas 318 meter persegi, pos jaga seluas 126 meter persegi; Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) melalui pemasangan perpipaan sepanjang 550 meter dan reservoir seluas 144 m eter persegi; pengaman pantai sepanjang 100 meter; dan pembangunan dermaga seluas 400 meter persegi dengan panjang 100 meter dan lebar 4 meter.
Sepanjang 2020, Kementerian PUPR mengalokasikan anggaran sebesar Rp 902,47 miliar untuk mengerjakan 43 paket kegiatan infrastruktur di KSPN Labuan Bajo. Pekerjaan ini meliputi peningkatan kualitas layanan jalan dan jembatan, penyediaan Sumber Daya Air, permukiman, dan perumahan.
Khusus pengembangan infrastruktur Pulau Rinca, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 21,25 miliar, reservoir SPAM senilai Rp 2,41 miliar, dan pembangunan pengaman Pantai Lohbuaya sebesar Rp 46,3 miliar.
Baca: Wishnutama Ingin Sulap Labuan Bajo Jadi Wisata Super Premium