Revisi Proyeksi, Sri Mulyani: Ekonomi Kuartal II Minus 3,8 Persen
Reporter
Muhammad Hendartyo
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 19 Juni 2020 14:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 menghadapi tekanan yang tidak mudah, bahkan akan dalam kondisi ekonomi negatif. Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, kata dia, mengestimasikan pertumbuhan ekonomi kuartal II berada pada minus 3,8 persen.
"Sehingga keseluruhan tahun nanti akan dihadapkan pada kondisi apakah di semester ke 2, kuartal 3 dan 4 kita mampu mulai memulihkan. Inilah tantangan yang kita hadapi," kata Sri Mulyani dalam Town Hall Meeting Kemenkeu, Jumat, 19 Juni 2020.
Dia menuturkan dengan adanya Covid-19 dan pembatasan sosial, kegiatan ekonomi menurun. Ekonomi seluruh dunia mengalami revisi dalam bentuk kontraksi.
"Dunia sekarang disebutkan pertumbuhannya akan negatif. Kalau kami lihat di negara-negara maju itu kelihatan sekali," ujarnya.
Semua negara pada kuartal kedua 2020, kata dia, akan mengalami kontraksi, bahkan di berbagai negara sudah mengalami resesi atau dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi negatif.
Negara yang sudah mengalami resesi yaitu Inggris, Jerman, Prancis, Jepang dan Malaysia. "Kita masih beruntung. Pada kuartal satu kita masih bertahan di 2,97 persen," kata dia.
Kendati begitu, kata Sri Mulyani, pemerintah terus berupaya membuat ekonomi tumbuh dengan Program Pemulihan Ekonomi dan penanganan Covid yang sudah tertuang dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN yang baru.
Menurutnya, kondisi saat ini, membuat APBN berubah luar biasa. Pada awal 2020, dia sudah berharap defisit APBN persen 1,76 dengan keseimbangan primernya mendekati 0.
"Kemudian covid menyebabkan pengeluaran belanja seperti yang saya tunjukkan di sini. Hampir Rp 700 triliun sendiri," kata dia.
Dia menuturkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN, belanja naik dan penerimaan turun. Hal itu membuat defisit AOBN akan naik yang tadinya didesain 1,76 persen, sekarang akan di atas 6 persen dari Produk Domestik Bruto.
HENDARTYO HANGGI