Aturan Urun Biaya BPJS Kesehatan Tunggu Putusan Menteri
Reporter
Terjemahan
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Sabtu, 19 Januari 2019 06:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 51 Tahun 2018. Beleid anyar tersebut mengatur tentang urun biaya dan selisih biaya dalam program jaminan kesehatan nasional BPJS Kesehatan. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo menuturkan aturan tersebut sudah berjalan, namun khusus untuk pasal tentang urun biaya belum bisa dijalankan hingga saat ini.
Baca: Cegah Defisit, Prabowo Janji Perbaiki Tata Kelola BPJS Kesehatan
Menurut Bambang, urun biaya hanya diterapkan untuk kasus moral hazard atau jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan. Adapun jenis pelayanannya akan dibahas dan dikaji oleh tim yang dibentuk.
Setelah itu, tim tersebut akan memberikan rekomendasi daftar layanan yang dimaksud untuk ditetapkan oleh menteri. "Dengan demikian terkait urun biaya belum bisa berlaku sepanjang belum ada penetapan oleh menteri," ujar Bambang kepada Tempo, Jumat 18 Januari 2019.
Adapun aturan soal selisih biaya sudah mulai diberlakukan. Dalam beleid tersebut tertulis, naik kelas layanan kesehatan atas permintaan sendiri hanya boleh hingga satu jenjang di atas hak peserta. Hal itu, kata Bambang, untuk mengurangi potensi kecurangan peserta yang membayar premi rendah namun berkeinginan naik kelas ke very important person (VIP) saat membutuhkan pelayanan di rumah sakit. "Selaih itu, juga mendorong agar terjadi gotong royong bagi orang yang mampu membeli premi kelas satu," tutur Bambang.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief menuturkan ada perbedaan signifikan antara aturan urun biaya dan selisih biaya. Untuk urun biaya, pemerintah akan menetapkan nominal yang akan dikenakan peserta JKN pada jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan. Budi menjelaskan pelayanan yang dimaksud biasanya disebabkan oleh selera maupun perilaku peserta JKN.
"Urun biaya ini dikenakan kepada peserta yang jika berobat mendapatkan pelayanan tertentu, namun pelayanan tersebut yang masuk dalam jenis pelayanan yang bisa disalahgunakan karena perilaku dan perilaku dan selera peserta," ujar Budi.
Adapun besaran urun biaya yang diatur dalam beleid tersebut, yaitu Rp 20 ribu untuk rawat jalan pada rumah sakit A dan B; Rp 20 ribu untuk rawat jalan pada rumah sakit kelas C, D, dan klinik utama; dan paling tinggi Rp 350 ribu untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam jangka waktu tiga bulan. Sementara untuk rawat inap, pemerintah menetapkan urun biaya sebesar 10 persen dari biaya pelayanan dihitung dari total tarif yang ditetapan atau paling tinggi sebesar Rp 30 juta.
Sampai saat ini, Kementerian belum menetapkan jenis pelayanan apa saja yang dinilai dapat menimbulkan penyalahgunaan tersebut. Penetapannya, kata Budi, masih harus menunggu usulan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, organisasi profesi, dan atau asosiasi fasilitas kesehatan. Setelah usul ditampung, kata Budi, pemerintah akan menunggu kajian, uji publik, dan rekomendasi. Apabila sudah disepakati, maka aturan urun biaya bisa disosialisasikan.
<!--more-->
"Filosofinya ini untuk menekan pelayanan yang tidak perlu. Kalau saya tidak perlu pelayanan ini saya tidak usah lah. Mungkin saya bisa minum obat saja di rumah atau olahraga karena saya harus membayar (urun biaya)," ujar Budi.
Adapun soal selisih bayar ditetapkan karena peserta menghendaki ada kenaikan hak pelayanan, baik pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Semisal, ada peserta JKN ingin mendapatkan pelayanan di poliklinik eksekutif, maka ia harus membayar selisih biayanya sebab JKN hanya menanggung biaya di poliklinik reguler. Adapun jenis pelayanan rawat inap, peserta hanya diperbolehkan lompat satu jenjang, tidak boleh lebih
“Ketentuan yang lalu seseorang boleh naik dua tingkat. Itu diselisih yang harus dibayarkan. Sekarang dari kelas tiga tidak bisa langsung ke VIP," ujar Budi.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi berharap aturan tersebut bisa meningkatkan kepatuhan untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dari pemerintah. Menurut Tulus, aturan tersebut diterbitkan untuk mengefisiensi agar tidak terjadi kecurangan, baik dari layanan kesehatan atau konsumen. Pasalnya, kata Tulus, kecurangan serupa sudah banyak terjadi di lapangan.
Namun, Tulus mengkritisi salah satu aturan yang mengatur pengecualian terhadap peserta penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehata, pemerintah yang didaftarkan oleh pemerinah daerah, dan pekerja pemerima upah yang diputus hubungan kerjanya (PHK) serta anggota keluarganya untuk membayar selisih bayar. Artinya, tidak mereka tidak bisa naik kelas meskipun mampu membayar.
“Golongan itu bisa saja karena dibantu oleh keluarganya yang mampu atau donasi, kalau mereka ingin menambah biaya atau ingin naik kelas, menurut saya juga harus diperhatikan. Mungkin Permenkes ini, BPJS Kesehatan bisa mengusulkan agar ini direvisi,” kata Tulus.
Pengurus Besar IDI Bidang Kesejahteraan Dokter Advokasi dan Monev Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Noor Arida Sofiana menyatakan kesiapannya untuk terlibat dalam pembahasan aturan baru itu. Namun, Arida menuturkan sejauh ini IDI masih menunggu sosialisasi dari kementerian pasca aturan itu diterbitkan. "IDI akan diundang lanjut lanjut oleh kementerian untuk pembahasan petunjuk teknis urun biaya," kata Arida.