Tiga Masalah Utang Luar Negeri Indonesia Versi Indef
Reporter
Lani Diana Wijaya
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 3 April 2018 15:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan persoalan utang luar negeri sudah terjadi sejak lama. Enny menuturkan negara memperoleh aliran modal cukup besar pada era reformasi hingga kepemimpinan presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Satu sisi utang kita relatif turun karena terbantu modal, tapi produktivitas ekonomi kita tidak terjadi. Sejak 2012, cash flow pemerintah pengelolaan utang nett negatif," katanya dalam diskusi Iluni Universitas Indonesia di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, Selasa, 3 April 2018.
Baca juga: Luhut Klaim Utang Pemerintah RI Lebih Kecil dari Malaysia
Pada 2013, misalnya, Indonesia mendapat investasi untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Investasi yang merupakan hasil kerja sama PT Pacific Geo Energy dengan perusahaan asal Amerika Serikat Ormat Technologie ini bernilai US$ 250 juta atau sekitar Rp 2,5 triliun.
Selain itu, investasi Korea-Indonesia mencapai US$ 1,9 miliar pada 2012. Dalam pemberitaan Tempo sebelumnya, SBY mengklaim volume perdagangan Korea-Indonesia mencapai US$ 30 miliar pada 2012.
Menurut Enny, Indonesia memperoleh utang dengan bunga rendah dan skema jangka panjang. Namun lobi pemerintah untuk mengajukan kerja sama bilateral relatif lemah.
Masalah lainnya adalah terjadi kebocoran dalam pengelolaan utang. Sebab, Enny berujar, "Banyak proyek yang markup dan korupsi."
Utang pemerintah Indonesia hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.035 triliun. Posisi ini naik 13,46 persen dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 3.556 triliun atau 29,24 persen dari produk domestik bruto (PDB).