TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia menyatakan sebanyak 2.600 eksportir terancam kena denda maksimal Rp 100 juta atau penundaan layanan ekspor oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai. Hal ini lantaran devisa hasil ekspor mereka belum juga diterima bank devisa domestik. "Kami sudah sampaikan surat secara bertahap, baru 200 yang merespons," ujar Direktur Eksekutif Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI, Hendy Sulistiowaty, dalam diskusi di Bank Indonesia, Senin, 25 Juni 2012.
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 13/20/PBI/2011, eksportir wajib menerima seluruh Devisa Hasil Ekspor (DHE) melalui bank devisa di Indonesia paling lama 90 hari setelah tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Khusus untuk pemberitahuan yang dikeluarkan pada 2012, devisa hasil ekspor wajib diterima melalui bank devisa dalam negeri paling lama 6 bulan setelah tanggal pemberitahuan. Dengan demikian, atas pemberitahuan Januari lalu, devisa hasil ekspor harus sudah diterima bank devisa dalam negeri pada Juli tahun ini.
Eksportir yang melanggar bakal dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 0,5 persen dari nilai nominal DHE yang belum diterima melalui bank devisa dengan jumlah denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling besar Rp 100 juta. Bagi eksportir yang tidak membayar denda, selanjutnya akan dikenai sanksi berupa penangguhan atas pelayanan ekspor oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Hendy mengungkapkan sesuai dengan data pemberitahuan ekspor barang bulan Januari 2012 seharusnya bank devisa domestik menerima US$ 14,6 miliar devisa hasil ekspor pada Juli 2012. Namun hingga April 2012 baru diterima 51 persennya atau sekitar US$ 7,4 miliar. "US$ 14,6 miliar harusnya masuk semua di bulan Juli. Tapi kan sampai sekarang nyatanya masih ada yang belum masuk," ujarnya.
Bank Indonesia memperkirakan devisa hasil ekspor yang disimpan eksportir di perbankan luar negeri mencapai US$ 29 miliar atau sekitar US$ 2,5 miliar per bulan. "Sebagian besar berasal dari ekspor sumber daya alam seperti minyak, tembaga, dan batu bara," ucap Hendy.
Hendy berharap aturan devisa hasil ekspor bisa berjalan optimal mengingat pihaknya telah banyak mensosialisasikan hal tersebut. "Kami sudah sosialisasi, kami juga kerja sama dengan Bea Cukai untuk itu," ucapnya. Ia mengaku tak mengerti mengapa masih ada eksportir yang mengaku belum mendapat sosialisasi.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Perry Warjiyo, mengakui ada beberapa kendala dalam realisasi aturan devisa hasil ekspor, utamanya pada perusahaan multinasional. "Perusahaan yang multinasional, mereka ada hubungan induk dan anak perusahaan. Ada beberapa industri yang jaringannya di kawasan seperti industri elektronik, dan lain-lain. Pabriknya di sini tapi rekening antar-perusahaan itu masih ada di kawasan," ucapnya.
MARTHA THERTINA