TEMPO.CO, Surakarta -- Bank Dunia mengingatkan pemerintah soal jumlah utang dalam negeri yang terus melonjak, sementara jumlah utang dari luar negeri terus menurun. “Padahal, idealnya, jumlah pinjaman dari dalam dan luar negeri seimbang,” ujar Direktur Eksekutif Bank Dunia Hekinus Manao, Rabu 21 Maret 2012.
Hekinus menyatakan, utang dalam negeri berisiko. "Biayanya mahal dan ada peluang gagal bayar yang cukup tinggi," katanya. Sumber utang itu misalnya berupa penerbitan Surat Utang Negara.
Menurut Hekinus, pemerintah juga lebih sulit mengawasi pinjaman karena dana berasal dari masyarakat. “Berbeda dengan pinjaman dari lembaga internasional yang terus mengawasi penggunaan pinjaman.”
Dalam tiga hingga empat tahun terakhir, Indonesia lebih banyak mengembalikan pinjaman utang luar negeri. Sepanjang tahun lalu, jumlah utang Indonesia ke Bank Dunia mencapai US$ 2,9 miliar. Pinjaman tersebut antara lain untuk mendanai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Bantuan Operasional Sekolah, Jaminan Kesehatan Masyarakat, dan pembangunan infrastruktur.
Jumlah utang Indonesia saat ini mencapai 26 persen terhadap produk domestik bruto. Utang tersebut terdiri atas utang luar negeri Indonesia sekitar Rp 700 triliun. Angka ini lebih kecil dibanding utang dalam negeri yang mencapai Rp 1.400 triliun. Sekitar 30 persen dari surat utang dalam negeri dikuasai oleh investor asing.
Pengamat ekonomi Ahmad Erani Yustika menyanggah pendapat Hekinus. Ia menilai utang dari dalam negeri lebih baik dibanding peningkatan pinjaman asing. “Meski bunga lembaga donor lebih rendah, mereka selalu menyetir kebijakan pemerintah. Intervensi kebijakan ini juga harus dikonversi," ujarnya.
Namun Erani mengingatkan pemerintah agar memperbaiki komposisi kepemilikan surat utang. Banyaknya dana asing dalam porsi surat utang negara dikhawatirkan mengganggu perekonomian bila terjadi penarikan dana secara besar-besaran. Idealnya, pemerintah menekan defisit anggaran dengan menaikkan tax ratio dan memangkas pengeluaran yang tidak perlu.
Sepanjang 2011 lalu, pemerintah meraup Rp 204,5 triliun dari penerbitan Surat Utang Negara. Tahun ini, untuk menutup defisit anggaran belanja, pemerintah kembali menerbitkan surat utang senilai Rp 14,08 triliun.
UKKY PRIMARTANTYO | AKBAR TRI KURNIAWAN | M. ANDI PERDANA