TEMPO.CO, Jakarta - Center for Strategic and International Studies Fondation (CSIS) menyatakan kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) merupakan kebijakan yang tergesa-gesa. "Kebijakan ini belum siap dijalankan," kata Supervisor CSIS Pande Radja Silalahi dalam acara diskusi "Persaingan Usaha disektor Minyak dan Gas" di Jakarta, Selasa 17 Januari 2012.
Ia menyatakan ketergesaan tersebut terlihat dari persiapan regulari pembatasan BBM yang belum selesai hingga saat ini. "Aturan mekanisme pembatasan belum beres," ujarnya. Ia juga menyoroti produksi converter kit yang belum jelas, sehingga menjadi riskan apabila pembatasan tersebut tetap dilakukan.
Pande juga khawatir pembatasan BBM akan menimbulkan diskriminasi di tengah masyarakat. Soalnya kebijakan tersebut akan memaksa sebagian masyarakat bergeser menggunakan BBM nonsubsidi. "Belum terang siapa yang berhak dan tidak berhak menggunakannya," ucap dia. Akhirnya pembatasan tersebut berpotensi menimbulkan polemik dan ketidakpastian di masyarakat mengenai hak atas BBM murah.
"Bisa terjadi kekacauan di masyarakat," ucapnya. Akibat paling buruk, kata dia, bisa terjadi kerusuhan nasional seperti di Nigeria. "Saya pesimistis kebijakan ini bisa sukses," ujar dia. Ia mengatakan hal tersebut karena menurutnya kebijakan ini merupakan pilihan yang bersifat politis dan mengesampingkan argumen ekonomi yang rasional.
"Jika pemerintah belum siap, jangan memutuskan dulu," ujarnya. Ia meminta pemerintah memimikirkan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan pembatasan BBM tersebut. "Jauh lebih baik naikkan harga BBM," tuturnya. Opsi ini dianggapnya lebih rasional karena dapat memberikan kepastian kondisi ekonomi kepada masyarakat.
RAFIKA