TEMPO.CO, Jakarta - Agustus tahun lalu, Presiden Joko Widodo meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Tujuannya, menjaga nilai kompetitif investasi dalam negeri. Begitu juga dengan PPh perorangan yang diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Baca: 2019, Tarif Pajak Penghasilan Diprediksi Turun
Revisi sejumlah undang-undang perpajakan diprediksi tak akan rampung pada tahun depan. Tahun ini juga, kata Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Andreas Eddy Susetyo, wacana pemerintah menurunkan tarif PPh yang sekaligus menjadi rangkaian reformasi perpajakan melalui instrumen undang-undang tak akan terealisasi.
“Tahun ini sudah pemanasan pemilu, tahun depan anggota Dewan pasti akan fokus di daerah pemilihan masing-masing,” kata dia, Selasa, 7 Februari 2017.
Revisi Undang-Undang PPh merupakan satu dari rentetan agenda revisi Undang-Undang Perpajakan. Selain PPh, KUP, PNBP, dan pajak pertambahan nilai (PPN), pemerintah bersama parlemen berencana merevisi Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Pemerintah mewacanakan penurunan tarif PPh untuk meningkatkan daya saing dalam negeri di tengah persaingan global. PPh badan, misalnya, saat ini bertarif 25 persen, memiliki selisih 8 persen dari tarif di Singapura.
Baca: Simak Opsi-opsi Pembiayaan LRT Jabodebek
Berikut ini gambaran tarif PPh dalam negeri dan perbandingan dengan negara-negara lain.
Indonesia
PPh badan: 25 persen
PPh perorangan:
Penghasilan Rp 36–50 juta: 5 persen
Penghasilan Rp 50–250 juta: 15 persen
Penghasilan Rp 250–500 juta: 25 persen
Penghasilan lebih dari Rp 500 juta: 30 persen
Negara dengan tarif tertinggi
Denmark: 55,56 persen
Spanyol: 52 persen
Jepang: 50,84 persen
Portugal: 48 persen
Inggris: 45 persen
Papua Nugini: 42 persen
Negara-negara bebas PPh
Bahrain
Brunei
Kuwait
Oman
Qatar
Arab Saudi
Negara Persatuan Arab
ANDI IBNU