TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta Busi Susandi mengatakan pembengkakan biaya proyek mass rapid transit (MRT) terjadi lantaran faktor komunikasi yang kurang bagus antara perseroan dengan tim pembebasan lahan.
Pasalnya, molornya proses pembebasan lahan juga berpengaruh terhadap pengerjaan dari PT MRT.
Baca Juga:
"Salah satu masalah akut di Indonesia adalah koordinasi antarlembaga yang sangat mahal dan sulit sehingga pekerjaan tidak bisa tuntas," kata Busi, Selasa, 15 November 2016.
Menurut Busi, PT MRT harus cepat melakukan koordinasi dengan Dishubtrans, Bina Marga, dan Badan Pertanahan Nasional untuk menyelesaikan pembebasan lahan, misalkan di Stasiun Cipete dan Stasiun Haji Nawi.
"Kedua, lakukan edukasi dan sosialisasi masif dan kontinu dengan masyarakat terdampak agar masyarakat sadar bahwa MRT adalah sistem transportasi yang dibutuhkan di Jakarta," ujar Busi.
Baca Juga:
Sebelumnya, PT Mass Rapid Transit Jakarta mengajukan tambahan pinjaman sebesar Rp 2,56 triliun untuk pembiayaan konstruksi proyek fase I.
Direktur Utama PT MRT Jakarta William P. Sabandar mengatakan nilai tersebut diperoleh melalui hasil penghitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas kontrak pekerjaan dalam proyek MRT Jakarta dari Lebak Bulus-Bundaran HI.
"Estimasi penambahan pembiayaan (variation order) atas kontrak mencapai Rp 4,25 triliun. Sementara itu, masih ada sisa dana di kas Rp 1,68 triliun. Kami coba ajukan tambahan pinjaman dari selisihnya yang nilainya berkisar Rp 2,56 triliun," kata William, Selasa, 15 November 2016.
Rencana tambahan pinjaman mau-tak mau harus diajukan karena tiga hal, yaitu adanya perubahan konstruksi terkait dengan penerapan koefisien gempa, belum selesainya proses pembebasan lahan, serta perubahan besaran kontrak dengan pihak swasta.