TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia menilai kebijakan suku bunga negatif yang diambil Bank of Japan (BoJ) mulai Februari 2016 tidak akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bank sentral Jepang ini masih menerapkan kebijakan dana murah (quantitative easing) karena masih ingin mendorong pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang masih rendah di negara itu.
"Kami tidak melihat suatu dampak yang signifikan dari apa yang dilakukan oleh BoJ," ujar Perry, di Kompleks Perkantoran BI, Jakarta, Jumat.
BoJ akan menerapkan kebijakan suku bunga negatif mulai Februari sebagai langkah tambahan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Jepang.
Keputusan tersebut diumumkan Jumat siang ini seusai rapat kebijakan moneter bulanan Bank of Japan, dengan lima dari sembilan anggota dewan gubernur BoJ mendukung kebijakan ini.
BoJ hari ini juga memutuskan mempertahankan besaran program quantitative easing US$ 666 miliar per tahun.
Menurut Perry, yang menjadi berita positif justru keputusan The Fed Rabu lalu yang tidak menaikkan tingkat suku bunga acuan dan menunjukkan bank sentral AS akan tetap dovish (tidak agresif melakukan penguatan suku bunga, lebih memilih kemajuan pertumbuhan ekonomi).
"Saya kira itu mengkonfirmasi apa yang diperkirakan oleh pasar bahwa tahun ini kenaikan FFR (Fed Fund Rate) hanya dua kali. Kemungkinan di Maret atau Juni," kata Perry.
Apabila The Fed terbukti hanya menaikkan FFR dua kali dalam tahun ini, lanjut Perry, dampak dari kebijakan tersebut sudah diantisipasi oleh BI sebelumnya.
"Kami meyakini itu menjadi faktor yang positif terhadap Indonesia, khususnya terhadap nilai tukar rupiah kita," ujar Perry.
ANTARA