TEMPO.CO, Banjarmasin - Upah Minimum Provinsi (UMP) Kalimantan Selatan 2016 akhirnya diputuskan naik sekitar 11,5 persen dari sebelumnya Rp 1.870.000 menjadi Rp 2.085.050. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalsel Antonius Simbolon di Banjarmasin, Selasa, 3 November 2015, mengatakan penetapan kenaikan UMP tersebut berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) dan tingkat inflasi sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan pusat.
"Berdasarkan rapat dewan pengupahan secara tripartit yang dilakukan beberapa kali, akhirnya disetujui kenaikan UMP Kalsel sebesar 11,5 persen atau sesuai dengan ketentuan kenaikan yang ditetapkan pusat," kata Antonius.
Menurut Antonius, dasar penetapan UMP tersebut, yaitu kebutuhan hidup layak (KHL), berdasarkan angka KHL terendah yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Rp 1.848.431,85.
Kemudian, dari angka KHL tersebut ditambah angka prediksi inflasi kumulatif hingga Desember 2015 yang diperkirakan sebesar 4,6 persen sehingga (Rp 1.848.431,85 + Rp 85.027,87) menjadi Rp 1.935.500, dan angka KHL tertinggi berada di Kabupaten Tabalong sebesar Rp 2.350.000.
Selain KHL, dasar penetapan UMP adalah angka inflasi dan PDRB secara nasional, yaitu 6,8 persen dan 4,67 persen, serta terakhir adalah kondisi pasar kerja, dengan angka pengangguran yang masih mencapai 4,83 persen.
"Masih tingginya angka pengangguran tersebut membuat posisi tawar atau bargaining para pekerja masih cukup rendah sehingga penetapan UMP di perusahaan masih berlaku hukum pasar," katanya.
Berdasarkan analisis tersebut, tambah Antonius, akhirnya disepakati bahwa UMP Kalsel menjadi Rp 2.085.050. Terhadap pelaksanaan ketetapan UMP yang bakal diberlakukan pada 2016 tersebut, tambah dia, pihaknya akan terus melakukan pengawasan dan pembinaan agar bisa dipatuhi oleh seluruh pihak terkait.
"Bagi perusahaan yang belum siap untuk melaksanakan ketentuan tersebut, bisa meminta pengajuan tunda untuk menaikkan UMP, sesuai dengan kemampuan perusahaan," katanya.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Kimia dan Energi Kalimantan Selatan Supardi mengatakan rata-rata para pekerja menerima keputusan tersebut walaupun lebih rendah dari harapan yang diinginkan.
"Bukan masalah puas dan tidak puas, untuk apa kita menuntut tinggi-tinggi, bila ternyata kenaikan tersebut membuat perusahaan kesulitan akhirnya melakukan pemutusan hubungan kerja," katanya. Karena itu, kata dia, dalam kondisi perekonomian seperti saat ini, perusahaan diharapkan tetap bisa meningkatkan produksi dan mempertahankan tenaga kerja yang ada.
ANTARA