TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan pemerintah mengancam akan mencabut izin importir perusahaan gula industri atau rafinasi yang nakal jika menemukan rembesan gula ini di masyarakat.
"Sekarang perusahaan gula rafinasi sedang diaudit, sehingga rafinasi hanya digunakan untuk makanan dan minuman industri," ujarnya saat ditemui, Senin malam, 8 Desember 2014.(Baca:Jokowi Siap Stop Impor Gula Rafinasi)
Derasnya keluhan masyarakat kepada pemerintah, ujar dia, membuat Kementerian Perdagangan melakukan audit internal untuk mendeteksi importir gula rafinasi yang nakal. "Jadi, nanti gula rafinasi hanya diberikan kalau dia punya kontrak," ucapnya.
Sofyan mengakui bahwa praktek perembesan ini biasanya dilakukan perusahaan dengan menggunakan kedok pabrik gula lokal. Dalam kenyataannya, perusahaan pemilik pabrik menggunakan modus mengimpor gula rafinasi untuk selanjutnya disalurkan bagi masyarakat. "Gula lokal itu kedok saja. Pabriknya itu, lalu dia impor besar-besaran, tapi dia jual ke masyarakat. Itu yang enggak boleh," ujarnya.(Baca: Dirut RNI: Tak Ada Kontrol Gula Rafinasi )
Karena itu, pemerintah hanya akan memberikan izin bagi perusahaan yang sudah memiliki kontrak pengiriman dengan industri perusahaan makanan dan minuman. "Di luar itu, kita tidak akan melayani," kata Sofyan.
Sebelumnya, Ketua Bidang Kajian Strategis dan Advokasi Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia Yeka Hendra Fatika menuding ketidakakuratan data mengenai kuota gula impor rafinasi menjadi penyebab menumpuknya gula domestik saat ini. "Stop dulu impor dalam waktu dekat, evaluasi, dan minta industri mamin (makanan minuman) wajib menyerap gula dari petani," ujarnya.
Menurut dia, penentuan kuota gula impor tidak terbuka. Akibatnya, gula domestik hasil petani lokal yang memiliki harga lebih tinggi kerap terpinggirkan saat gula rafinasi merembes ke pasar tradisional.(Baca:Kurang Bahan Baku, 4 Pabrik Gula Rafinasi Tutup)
Lembaganya mencatat produksi gula dalam negeri mencapai 2,5 juta ton, sedangkan kuota impor gula rafinasi tahun ini 2,8 juta ton atau berkurang sekitar 187 ribu ton setelah pemerintah menjatuhkan sanksi akibat gula rafinasi merembes ke pasar konsumen tahun lalu. Adapun kebutuhan dalam negeri diperkirakan sekitar 4,5 juta ton.
Yeka menyatakan besarnya rembesan gula rafinasi menjadi penyebab rontoknya komoditas gula petani lokal. Dari sekitar 2,5 juta target produksi, baru sekitar 60 persen persen yang diserap pasar. Sisanya masih tersimpan di gudang.
Adapun harga jual riilnya jauh di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah. HPP pemerintah Rp 8.500 per kilogram, sedangkan harga gula lokal sekitar Rp 8.000 per kilogram. "Kalau begitu, bagaimana mau bersaing?" kata Yeka.(Baca:Rugi, RNI Ingin Bangun Pabrik Gula Rafinasi)
Atas kondisi itu, Yeka mengatakan, lembaganya meminta pemerintah segera bergerak cepat untuk mengurangi pasokan gula impor sambil mengintruksikan pengusaha agar mau menyerap gula petani sesuai dengan HPP yang telah ditentukan. "Stop impor dulu, baru berikutnya benahi cost production-nya agar petani mampu bersaing," katanya.
Yeka berpendapat, dengan memperhitungkan rata-rata produktivitas tebu petani di angka 55 ton per hektare dan randemen 11,2 persen bahkan produksinya bisa dipacu hingga 75 ton per tahun, kuota impor gula rafinasi secara perlahan harus mulai dikurangi pemerintah. "Dengan produktivitas itu, sebetulnya gula lokal sudah cukup, bahkan surplus," ujarnya.
Untuk mengurangi ketergantungan pada gula impor yang murah, Yeka meminta pemerintah mulai merencanakan pembangunan pabrik industri atau rafinasi di dalam negeri. Sebab, dengan pasokan bahan baku yang melimpah, gagasan membangun teknologi pengolahan gula industri seharusnya bisa direalisasikan pemerintah.
JAYADI SUPRIADIN
Baca:
Kubu Prabowo: Pemerintah Intervensi Konflik Partai
Rabu, Pertamina Sepakati Upgrade Empat Kilang
Jokowi-SBY Bertemu, Peta Politik DPR Berubah Total
Trik Bercinta Wanita Kita yang Beresiko HIV/AIDS