TEMPO Interaktif, Jakarta - Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di sektor produksi kertas, PT Kertas Leces (Persero), terus mengalami kerugian dalam beberapa tahun terakhir. Kerugian perusahaan pada 2008 sebesar Rp 49 miliar, pada 2009 Rp 53 miliar, dan pada 2010 (anaudited) Rp 78 miliar.
“Bahkan sebenarnya sudah sejak 2005. Itu semata-mata karena struktur keuangan yang tidak sehat. Untuk itu, jajaran direksi telah membuat program perbaikan sehingga kondisi rugi menjadi untung,” kata Direktur Utama Kertas Leces Martoyo Sugandi, dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi Keuangan DPR, Rabu (2/3), di gedung DPR.
Pada 2011-2012, perusahaan akan merestrukturisasi keuangan dan operasionalnya. Menurut Martoyo, saat ini perusahaan memiliki utang kepada pemerintah berupa RDI dan DDI sekitar Rp 461 miliar Akibatnya bank tidak bersedia memberikan pendanaan kepada perusahaan sejak 2004.
Selain kepada pemerintah, perusahaan juga berutang pada investor. Tetapi saat ini sudah ada kesepakatan agar dilakukan buyback terhadap utang tersebut. Sementara, pada 2013-2015 perusahaan akan melakukan transformasi bisnis. Jadi tidak hanya menjual kertas, perusahaan juga akan menjual bahan baku berupa ampas tebu.
“Kami sedang memproses permintaan agar pembayaran utang kepada pemerintah dapat dicicil selama 2 tahun,” kata Martoyo. Perusahaan juga berharap ada suntikan modal kerja dari pemerintah berupa penyertaan modal negara (PMN), dan yang dibutuhkan sekitar Rp 440 miliar. Ini akan digunakan untuk proses restrukturisasi yang dilakukan perusahaan.
Perusahaan ditargetkan kembali beroperasi pada Juli tahun ini, sembari menunggu selesainya pembangunan boiler batubara. Saat ini, pembangunan sudah berjalan 70 persen dan ditargetkan selesai pada Juli 2011. Pembangunan pabrik tersebut juga untuk mengurangi biaya energi yang dikeluarkan.
“Kami memiliki biaya energi yang cukup tinggi dibandingkan kompetitor. Kalau kompetitor kami biayanya sekitar US$ 80 per ton produk, sementara kami US$ 160 per ton produk. Dengan pembangunan boiler, maka biaya energi diharapkan turun menjadi US$ 80 per ton produk,” katanya.
EVANA DEWI