Namun semua itu bukannya tanpa catatan. Menurut Geithner, sejumlah negara maju menghadapi masalah yang sama, yakni angka pengangguran yang begitu tinggi. “Ini di luar dugaan. Syarat untuk sebuah perbaikan yang berkelanjutan belum terpenuhi,” kata Geithner lagi. Perbaikan berkelanjutan memang kata kunci agar dunia bisa melewati krisis ini lebih cepat dan juga punya dampak yang lebih panjang.
Sulitnya angka pengangguran itu dikendalikan, menurut John Hussman, profesor ekonomi dari University of Michigan, merupakan ciri unik krisis kali ini. Dalam setiap resesi, biasanya angka pengangguran berbanding lurus dengan perubahan indikator ekonomi lain. Tapi kali ini beda. Ketika banyak indikator membaik, angka pengangguran malah terus naik. “Utang besar serta rapuhnya ekonomi rumah tangga akibat krisis membuat dinamika perekonomian sulit ditebak,” kata Hussman. Akibatnya, arah perekonomian kini lebih dikendalikan oleh jumlah pengangguran. Selama angka pengangguran terus meningkat, krisis belum berakhir, meski indikator lain membaik.
Hitungan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pada akhir tahun ini jumlah penganggur di seluruh dunia akan mencapai 210 juta. Ini 7,1 persen dari angkatan kerja dunia saat ini, naik dari 6 persen tahun lalu. Dan menurut Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn, jumlah ini akan terus bertambah hingga beberapa tahun mendatang. ”Krisis pekerjaan ini hanya akan berakhir kalau sektor swasta kembali bergairah,” katanya.
Masalahnya, menggairahkan sektor swasta dan menurunkan angka pengangguran bukan soal mudah. Di Cina, stimulus US$ 586 miliar atawa sekitar Rp 5.860 triliun yang digulirkan pemerintah berhasil mendorong perekonomian negara itu tumbuh 7,9 persen pada kuartal kedua 2009. Angka pertumbuhan bahkan diperkirakan naik menjadi 10 persen pada awal tahun depan. Toh jumlah pengangguran di negeri itu tetap berkisar di angka 40 juta.
Ini juga terjadi di Amerika, Jerman, Prancis, dan banyak negara lain. Amerika, misalnya, meski perekonomian negara ini boleh dikata sudah mulai membaik--produk domestik bruto kuartal lalu cuma terkontraksi 1 persen--jumlah penganggur sama sekali tidak berkurang. Malah, pada Agustus lalu angka pengangguran AS mencapai titik tertinggi dalam 26 tahun terakhir, 9,7 persen atau sekitar 15 juta.
Maka, sewaktu diwawancarai harian Prancis Challenges, pemenang Nobel Ekonomi 2001 Joseph Stiglitz mengkritik ekonom yang mendefinisikan resesi sebagai gejala pertumbuhan ekonomi negatif dua kuartal berturut-turut, dan bahwa krisis akan berakhir manakala pertumbuhan kembali positif. “Itu keliru,” kata Stiglitz. “Bagi kebanyakan orang, resesi justru baru dimulai saat angka pengangguran naik dan pekerjaan sulit didapat.”
Jika angka pengangguran yang tinggi ini dibiarkan berlangsung lama, kata Stiglitz, situasi bisa jadi akan bertambah buruk. Soalnya, meski kehilangan pekerjaan, banyak keluarga masih harus terus membayar utang. Ini membuat mereka terpaksa menguras simpanan. Kalau sampai simpanan ludes padahal pekerjaan belum didapat, mereka akan berhenti membayar utang. Ini bisa memunculkan krisis baru.
“Yang terburuk memang sudah lewat. Tapi angka pengangguran menunjukkan bahwa krisis belum berlalu dan fundamental ekonomi dunia masih lemah,” kata Stiglitz lagi. Dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran saat ini, dia meramalkan perekonomian dunia baru akan kembali normal empat tahun mendatang.
Philipus Parera (Bloomberg, Canadian Business, Forbes, Business Insider)
Pengangguran di Beberapa Negara
Amerika 15 juta 9,7 persen
Jerman 250 ribu 8,3 persen
Prancis 2,5 juta 9,4 persen
Inggris 2,4 juta 7,8 persen
Cina 40 juta 4,3 persen
Jepang 3,6 juta 5,7 persen
Hong Kong 214 ribu 5,4 persen
Australia 830 ribu 7,4 persen
*)Data akhir semester pertama 2009, kecuali Amerika