TEMPO.CO, Shanghai - Huawei Corporation akan mengucurkan investasi hingga US$ 500 juta (Rp 6,7 triliun) untuk mengembangkan layanan komputasi awan (cloud computing) hingga 2022. President of Technical Service Department Huawei Enterprise Business Group, Sun Maolu, menyatakan teknologi komputasi awan akan menjadi fokus bisnis perusahaannya dalam jangka panjang.
"Huawei harus menyesuaikan diri dengan transformasi pada era cloud, yang menjadi kewajiban pada masa sekarang," kata dia dalam acara Huawei Connect 2017 di Shanghai, kutip dari Koran Tempo, edisi Jumat 8 September 2017.
Simak: Huawei Berambisi Pimpin Perkembangan 'Intelligent World'
Dana tersebut akan dipakai Huawei untuk melakukan inovasi teknologi awan cerdas, pengembangan platform digital, serta mendirikan industri berbasis kecerdasan buatan yang terkoneksi dengan jaringan Internet. Perusahaan asal Cina ini memprioritaskan lima sektor, yaitu pelayanan publik, finansial, manufaktur, transportasi, dan energi.
Huawei pun mengenalkan layanan baru, yaitu enterprise intelligence (EI). Produk ini menyasar perusahaan-perusahaan yang ingin menghemat biaya operasi dan meningkatkan produksi melalui teknologi cloud dan kecerdasan buatan. Huawei sudah memasarkan layanan EI kepada China Pacific Insurance Co (CPIC), yang melahirkan aplikasi Alpha Insuradvisor.
Melalui Alpha Insuradvisor, CPIC merancang perhitungan klaim asuransi secara otomatis. Nasabah pun bisa mengunggah bukti pembayaran pelayanan medis—untuk asuransi kesehatan—melalui ponsel pintar. Sistem ini akan menganalisis dokumen untuk menghitung berapa besar dana yang harus diganti. Kepala Digital CPIC, Yang Xiaoling, mengatakan pengguna aplikasi ini membeludak dari 200 ribu orang menjadi 2,2 juta orang hanya dalam empat hari.
"Kini pelayanan berbasis digital kami sudah mencakup 80 persen," kata dia.
Kepala Eksekutif Huawei, Guo Ping, optimistis layanan cloud bisa mendongkrak pendapatan perusahaan hingga US$ 200 miliar. Tahun ini, Huawei meraup pendapatan senilai US$ 100 miliar. Komputasi awan, kata dia, bisa menggandakan keuntungan tanpa perlu memperpanjang rantai bisnis.
Meski getol memasarkan produk jasa, Huawei masih bergantung pada penjualan perangkat keras. Perusahaan ini menambah satu produk baru, yaitu Atlas—peranti untuk menganalisis data skala besar (high performance computing) yang terhubung dengan kecerdasan buatan. Perangkat ini bisa menganalisis 100 miliar pelat nomor kendaraan yang direkam 100 ribu kamera lalu lintas.
Sebelumnya, Guo Ping mengatakan perkembangan bisnis di seluruh dunia akan bergantung pada teknologi kecerdasan buatan dan komputasi awan. Sebab, peranti virtual penyimpanan data dan kecerdasan buatan akan menjadi kebutuhan utama pemerintah maupun perusahaan.
Guo mencontohkan peningkatan investasi Kota Yanbu al-Bahr di Arab Saudi yang meningkat 18 persen setelah memakai layanan cloud computing untuk sektor komunikasi, pelayanan publik, serta kawasan industri pada April lalu.
Berdasarkan studi Pricewaterhouse Coopers (PwC), maraknya migrasi industri ke pelayanan berbasis digital akan mendongkrak produk domestik bruto (PDB) penduduk dunia hingga 14 persen pada 2030. Pada tahun itu, sumbangan teknologi yang tengah berkembang tersebut bakal mencapai US$ 15,7 triliun. Per 2015, PDB penduduk dunia mencapai US$ 74 triliun.
Analis PwC Boston, Anand Rao, sebagaimana dilansir Xinhua, menaksir teknologi digital akan menaikkan produksi barang dan jasa hingga senilai US$ 6,6 triliun. Adapun kecerdasan buatan akan dipakai konsumen untuk menggunakan barang dan jasa dengan nilai US$ 9,1 triliun pada 13 tahun mendatang. “Kita akan melihat, pada masa depan, kerja sama manusia dan mesin akan lebih baik,” katanya mengomentasi bisnis komputasi awan Huawei.
ROBBY IRFANY (SHANGHAI)