TEMPO.CO, Jakarta - Kinerja sejumlah emiten-emiten consumer goods mengalami perbaikan semester satu 2017 karena laba yang naik dibandingkan periode pertama tahun lalu. Laba PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) misalnya tercatat mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp 2,23 triliun menjadi Rp 2,27 triliun.
Analis Indosurya Sekuritas, William Surya Wijaya mengatakan kenaikan tersebut lebih disebabkan oleh kembali positifnya harga komoditas, sehingga mendorong beberapa emiten yang bergerak sektor tersebut kembali bergairah. “Artinya mereka ada pemasukan tambahan, maka secara tidak langsung memberikan dampak ke sisi consumer dari sisi konsumtifnya,” ujarnya, saat dihubungi Tempo, Kamis, 3 Agustus 2017.
Simak: Laba Bersih BRI Tumbuh 10,4 Persen di Semester I 2017
Selain itu, menurut William kenaikan itu juga ditopang oleh musim puasa dan lebaran yang mendorong tingkat konsumsi masyarakat. “Jadi consumer goods memberikan kontribusi positif.” Dia mengatakan di semester kedua perekonomian diprediksi bergerak lebih cepat, sehingga turut menjadi penggerak daya beli masyarakat. “Kalau dilihat dari sisi consumer karena kebutuhan lebih ke perusahaan sehari-hari masih akan cukup bagus, karena kebutuhan masih akan banyak ke sana,” ucapnya.
William menuturkan dari sisi toko ritel supermarket dan swalayan akhir-akhir ini juga banyak melakukan strategi pemasaran yang mendorong tingkat konsumsi masyarakat lebih tinggi. “Mereka gencar melancarkan paket-paket promo dalam penjualan, misal mereka nggak butuh beli kapas tapi mau nggak mau beli kapas karena di paketnya ada itu,” katanya.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira membantah jika hal itu disebabkan oleh daya beli masyarakat yang mulai meningkat. Dia mengatakan perbaikan kinerja itu hanya terjadi pada emiten yang berbasis komoditas, karena kenaikan harga minyak dan hasil perkebunan. “Kalau ritelnya banyak yang negatif, consumer goods yang dibeli masyarakat umum.”
Bhima menjelaskan anjloknya daya beli masyarakat sudah mulai terjadi sejak 2014 lalu. Saat ini juga belum membaik signifikan, di satu sisi kinerja industri ritel dan pengolahan juga masih mengalami penurunan.
Faktor penyebab yang pertama kata dia di kalangan masyarakat berpenghasilan bawah mengalami pertumbuhan pengeluaran yang kecil yaitu 1,89 persen. Hal itu disebabkan oleh penyesuaian pengeluaran karena pengurangan subsidi listrik dan energi. “Kemudian yang 20 persen masyarakat berpenghasilan atas justru menahan konsumsi dan pindah ke saving, bukannya nggak punya uang.”
Bhima berujar kunci dari pemulihan daya beli ada di pengendalian harga, baik dari harga bahan pangan bergejolak (volatile foods) ataupun harga barang yang diatur pemerintah (administered prices). “Pemerintah harus bisa kendalikan volatile foods dan harus punya siasat jangan sampai listrik, BBM, dan LPG ada kenaikan, sehingga sampai akhir tahun daya beli masih bisa tumbuh,” ucapnya.
Bhima menuturkan perekonomian Indonesia saat ini tengah mengalami fase deindustrialisasi, dengan kunci berada di sektor industri terutama pengolahan dan kecil yang masih menurun kinerjanya.
Menurut dia investasi di Indonesia tetap tumbuh meskipun terdapat indikasi mengalami penurunan kualitas. “Karena investasi meningkat tapi penyerapan tenaga kerja menurun.” Pada semester satu tahun lalu tenaga kerja yang terserap mencapai 680 ribu, sedangkan tahun ini menurun menjadi 539 ribu.
“Kita lihat apakah kemudian investasi ini meningkatnya ke sektor yang padat modal dan teknologi, atau kenapa banyak investor yang masuk bukan ingin sektor yang padat karya,” katanya. Hal itu kata Bhima diduga disebabkan oleh momen yang belum tepat untuk kembali menggeliatkan industri paket karya, seperti tekstil dan alas kaki. “Nah solusinya balik lagi ke paket kebijakan yang udah terbit itu bagaimana.”
GHOIDA RAHMAH