TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kepala Sawit (SPKS) Kabupaten Paser Kalimantan Timur Iwan Himawan memberikan sejumlah masukan menyusul pembentukan Tim Penguatan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) oleh pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Juni 2016. Salah satu poin yang menjadi masukan adalah penyelesaian masalah-masalah mendasar yang tertunda di sektor sawit.
Baca: Soal Sawit, Enggar: Deforestasi Tak Beda dengan Vegetabel ...
Iwan mengatakan ada beberapa persoalan sektor sawit di Kalimantan yang belum terselesaikan. Misalnya usaha perkebunan sawit tidak ramah lingkungan, rawan perampasan lahan, pelanggaran hak, baik terhadap pekerja maupun masyarakat di sekitarnya, serta perubahan sosial dan budaya.
Menurut dia, tertundanya penyelesaian persoalan itu menunjukan rendahnya kepatuhan perusahaan penerima ISPO terhadap aturan ISPO. “Praktis menunjukkan rendahnya kredibilitas dan akuntabilitas sistem ISPO di hadapan pasar nasional dan internasional,” kata Iwan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 18 Mei 2017.
Iwan meminta agar pemerintah menyiapkan prakondisi dari tim penguatan tersebut. Sebab, pihaknya menemukan fakta perusahaan yang telah mendapatkan ISPO masih terlibat konflik sosial dengan masyarakat dan merusak tatanan ekologi. Untuk itu perlu mempertimbangkan dan mengakomodasi prakondisi agar rancang ulang ISPO berlangsung maksimal.
Sebagai langkah konkritnya, Iwan mendesak agar ada identifikasi permasalahan yang jelas dan konkrit di tingkat tapak untuk menjadi landasan dalam penyusunan ulang keseluruhan sistem ISPO. Tumpang tindih kawasan dan perkebunan juga harus diselesaikan sebelum pemberlakuan ISPO secara penuh baik bagi petani swadaya maupun pemegang hak guna usaha.
Pemerinta didsak meninjau kembali sertifikat ISPO yang telah diterbitkan supaya tidak menjadi bagian percepatan terbitnya HGU. “Ada kecenderungan ISPO sebagai pemutihan prosedur hukum yang ada, sehingga seakan-akan jika sertifikat ISPO sudah terbit maka penerbitan HGU bisa lebih cepat,” kata Iwan.
Iwan menekankan harus ada sinkronisasi ihwal pelepasan kawasan dalam kebijakan penataan kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan kawasan kehutanan. Pelaksanaan evaluasi atas sertifikat-sertifikat ISPO yang sudah terbit juga diperlukan untuk dapat memastikan bahwa tidak ada perusahaan penerima ISPO masih menimbun pengentasan persoalan lama.
Iwan menambahkan pemerintah perlu memastikan agar kebijakan ISPO di tingkat tapak tidak menjadi jurang pemisah antara perusahaan dan petani swadaya. Caranya adalah dengan pembenahan pada metode sosialisasi dan pendampingan. Selain itu, diperlukan reformasi terhadap berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang belum memihak petani perkebunan.
Perbaikan menyeluruh kriteria ISPO sebagai sebuah sistem sertifikasi juga mendesak diperlukan. Menurut Iwan, keseluruhan tahapan dari rancang ulang ISPO harus melalui proses yang inklusif, partisipatif, sistematis dan transparan. Artinya proses konsultasi publik dan penyusunan standar ISPO yang dilakukan tidak bisa hanya menjadi formalitas namun diperlukan ruang komunikasi dan interaksi yang berkesinambungan. "Sehingga ada ruang dan keharusan untuk mempertimbangkan masukan dari para pihak," ucapnya.
Iwan mengatakan penegakan hukum terhadap pelanggaran ISPO harus ditindak lanjuti. ISPO harus lebih membuka ruang partisipasi masyarakat adat, petani pekebun, masyarakat desa, serta buruh perkebunan. Untuk itu diperlukan pengawasan eksternal yang independen, transparan dan akuntabel.
Baca: Menteri Enggartiasto Kirim Surat Keberatan Ke Eropa Soal Sawit
Poin selanjutnya menurut Iwan adalah pembenahan jaminan hukum bagi petani. Beban petani yang berat dan posisinya yang lemah di hadapan perusahaan, menjadikan jaminan hukum terhadap petani sangat penting.Tujuannya untuk memastikan bahwa petani swadaya memiliki kapasitas dan fasilitas untuk dapat mengadopsi dan mengikuti sistem ISPO. “Kami menghendaki pembenahan jaminan hukum bagi petani, secara spesifik pada tahapan produks.,”
DANANG FIRMANTO