TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng mengatakan perlambatan ekonomi dunia dan rendahnya harga komoditas global berdampak terhadap perekonomian domestik, terutama di daerah yang sumber pertumbuhan ekonominya berasal dari sumber daya alam, pertambangan, dan perkebunan.
"Produsen migas (minyak dan gas), seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua Barat, produsen batu bara, seperti Sumatera Selatan, serta produsen kelapa sawit dan karet, yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, merasakan dampak perkembangan tadi," katanya di Kompleks BI, Jakarta, Senin, 8 Mei 2017.
Baca Juga:
Baca: Kurs Rupiah Stabil, Pasar Tunggu Keputusan The Fed
Perlambatan ekonomi daerah yang sumber pertumbuhan ekonominya bertumpu pada sumber daya alam, menurut Sugeng, disebabkan terbatasnya diversifikasi struktur perekonomian dan menipisnya cadangan sumber daya alam. "Dengan keterbatasan itu, daerah rentan terhadap permintaan importir dan fluktuasi harga," ujarnya.
Berdasarkan data BI, rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera dan Kalimantan pada 2014-2016 masing-masing 4,2 persen dan 2,3 persen. Capaian itu lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi Jawa, Bali-Nusa Tenggara, dan Sulawesi-Papua, yang masing-masing mencapai 5,5 persen, 7,4 persen, dan 7,1 persen.
Baca: Ekonomi Tumbuh 5,01 Persen, Ekonom: Triwulan III dan IV Membaik
Sugeng berujar permasalahan struktural daerah juga membuat daerah rentan terhadap masalah pangan. Daerah memiliki ketergantungan tinggi pada pasokan makanan dari daerah lain, kelancaran distribusi, biaya logistik, dan struktur pasar. "Kerentanan pangan tersebut tercermin dari disparitas inflasi di daerah," ucapnya.
Dia menuturkan inflasi daerah produsen makanan cenderung lebih rendah. Menurut data BI, rata-rata inflasi pada 2014-2016 di daerah produsen makanan, seperti Jawa dan Bali-Nusa Tenggara, masing-masing 4,6 persen dan 4,7 persen. Adapun Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi-Papua memiliki inflasi sekitar 5,2-5,4 persen.
Permasalahan ketahanan pangan, menurut Sugeng, bukan hanya masalah daerah, tapi juga nasional. Kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi menurun dari 22 persen pada 1990 menjadi 13 persen pada 2016. "Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi membuat impor pangan masih cukup tinggi," katanya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI