TEMPO.CO, BATAM - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meresmikan pelayanan jasa pemanduan di Selat Malaka dan Selat Singapura. Keterlibatan Indonesia dalam jasa pemanduan kapal di dua selat ini, menurut Budi, merupakan hasil negosiasi panjang dengan dua negara yang juga dilalui salah satu jalur pelayaran internasional terpadat itu, yakni Malaysia dan Singapura.
"Selama ini kita tidak serius mengurus jalur Selat Malaka,” kata Budi seusai peresmian di Batam, Kepulauan Riau. Hadir dalam acara itu, antara lain, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Antonius Tonny Budiono, dan Direktur Utama PT Pelindo I (Persero), Bambang Eka Cahyana.
Baca: Pelindo II Siap Gandeng 3 Shipping Lines Besar
Pemerintah menyerahkan layanan jasa pemanduan di Selat Malaka kepada Pelindo I. Untuk keperluan ini, Pelindo I telah menyediakan 12 kapal pemandu khusus berbadan aluminium dan 40 orang pandu berkualifikasi laut dalam. Jika diperlukan, menurut Bambang Eka, Pelindo II, III, dan IV siap menambahkan tenaganya.
Menurut Bambang Eka, setidaknya 220 kapal dari berbagai negara melewati jalur ini setiap hari. Dari jumlah itu, sekitar 70 kapal yang memiliki panjang minimal 250 meter dan berat 80 ribu ton wajib menggunakan jasa pemanduan. "Jika tidak menggunakan jasa pemandu dan terlibat kecelakaan, perusahaan asuransi tidak bersedia menanggung," dia menjelaskan.
Baca: Laba Bersih Pelindo I Naik Tipis
Bambang menyatakan, dengan layanan baru ini, perusahaannya akan memperoleh pendapatan Rp 1 triliun setahun. Menurut dia, target itu merupakan proyeksi moderat, dengan perkiraan Pelindo I hanya memperoleh 10 dari total 70 kapal yang melintas di Selat Malaka per hari. Perusahaan pelat merah ini telah berinvestasi untuk pengadaan kapal pemandu, senilai masing-masing Rp 12 miliar, dan juga pendidikan para pandu agar memenuhi kualifikasi yang diperlukan.
Kapal pemandu milik Pelindo I ditempatkan di dua titik, yakni Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Nongsa, Batam. Para petugas pandu akan naik ke kapal-kapal besar klien yang berjalan dengan kecepatan tertentu, lalu mengambil alih kendali kapal dari kapten masing-masing selama 36 jam melintasi Selat Malaka. Kapal yang melewati selat itu diatur dengan kecepatan tertentu, yakni sekitar 15 knot, dan tidak boleh saling mendahului.
Pelindo I mesti bersaing dengan perusahaan di Singapura dan Malaysia. Singapura telah mengembangkan pelabuhan raksasa Tuas. Sedangkan Malaysia, selain mengembangkan Port Klang dan Tanjung Pelepas, akan membangun tiga pelabuhan baru, yaitu Malacca Gateway Project, Kuala Linggi, dan Pulau Carey di Selangor.
Selat Malaka sepanjang 890 kilometer merupakan jalur yang padat, dengan perairan yang sempit dan dangkal. Malaysia dan Singapura selama ini bersaing dalam bisnis pemanduan, juga jasa pelabuhan. Tahun lalu, otoritas kedua negara mencatat jumlah kapal tertinggi yang melintas di sana, yakni 83.740 perjalanan. Jumlah itu terdiri atas kapal kargo, tanker, dan kapal pengangkut muatan curah.
Budi Karya mengatakan, secara ekonomi, pengelolaan Selat Malaka memang menguntungkan. Namun, menurut dia, yang lebih penting adalah pertimbangan keamanan. “Selama ini negara kita dilalui kapal internasional, tapi kita tidak ikut terlibat,” ujarnya. “Sekarang, selain untung secara bisnis, kita bisa memantau pergerakan kapal-kapal ini.”
Menteri Budi juga meminta Pelindo I bekerja sama dengan aparat keamanan. Tujuannya, Pelindo I bisa mendapat mitra strategis dalam pengembangan pelabuhan yang dimiliki perusahaan itu, terutama Kuala Tanjung di Medan, Sumatera Utara.
BUDI SETYARSO