TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Energi Nasional mengusulkan agar harga gas pipa dijual seharga US$7,18 per MMBtu dengan harga jual di tingkat hulu sebesar US$4 per MMBtu dan di hilir US$3,18 per MMBtu.
Anggota Dewan Energi Nasional Syamsir Abduh mengatakan pihaknya telah memberikan lima rekomendasi kepada Pemerintah sejak Februari 2016 untuk menekan harga gas pipa.
Pertama, pelaku industri hulu dan hilir harus menguraikan komponen biaya secara transparan. Begitu pula pelaku industri pengguna gas harus menjabarkan komponen biaya gas dalam biaya produksi.
Kedua, memotong rantai pasok di jalur distribusi gas dengan cara menunjuk satu perusahaan pelat merah untuk mengatur kegiatan transmisi dan distribusi.
Ketiga, Pemerintah bersedia mengurangi penerimaan negara di sektor hulu untuk mengompensasi harga gas hulu yang terlalu tinggi. Keempat, lapangan-lapangan gas yang telah melewati masa keekonomian disarankan agar menurunkan harga jual gas. Selain itu, Pemerintah melakukan pertimbangan perpanjangan masa kontrak melalui penetapan harga jual gas hulu yang lebih murah.
Terakhir, industri yang biaya gasnya tinggi dalam struktur biaya produksi mendapat harga gas yang lebih murah.
Melalui rekomendasi tersebut, dia menganggap batas harga gas pipa di tingkat hilir bisa mencapai US$7,18 per MMBtu dengan harga gas hulu sekitar US$4 per MMBtu dan ongkos distribusi sebesar US$3,18 per MMBtu.
"Agar bisa masuk ke industrinya US$7,18. Mereka (industri) juga enggak mau di hulunya enggak dapat keuntungan," ujarnya pada acara Diskusi Energi Kita di Jakarta, Minggu (18 September 2016).
Saat ini, katanya, komponen biaya produksi di hulu masih berpeluang diturunkan. Kendati demikian, pihaknya menilai pelaku usaha di tingkat hilir masih belum mau membuka secara transparan komponen biaya produksinya. Dengan demikian, pihaknya belum bisa mengidentifikasi komponen mana yang bisa dieliminasi dan mengurangi harga di tingkat hilir.
"Ternyata mereka-mereka (trader) yang tidak punya infrastuktur tadi tidak transparan," katanya.
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Kurtubi mengatakan akar masalah mahalnya harga gas yakni penerapan Undang Undang Minyak dan Gas Bumi No.22/2001 yang menyebabkan badan usaha yang memiliki kemampuan untuk menetapkan harga. Di sisi lain, Pemerintah pun memberikan peluang pemberian alokasi kepada badan usaha di tingkat distribusi tanpa memperhatikan komitmen untuk mendistribusikan ke pengguna akhir juga membangun infrastruktur. Dengan demikian, dia menyebut revisi UU Migas akan menjadi solusi tata kelola niaga gas.
Dia menargetkan pada tahun ini revisi bisa diselesaikan. Namun bila hingga akhir tahun revisi belum bisa dilakukan, dia menyarankan agar menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undnag Undang (Perppu).
"Target kami revisi UU Migas selesai tahun ini tapi kalau tidak selesai, disarankan agar menteri ESDM membentuk Perppu," katanya.