TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mencium adanya kartel yang diduga dilakukan oleh enam perusahaan yang tergabung dalam Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). "IPOP berpotensi menjadi sarana kartel usaha," kata Ketua KPPU Syarkawi Rauf, secara tertulis kepada Tempo, Kamis, 14 April 2016.
IPOP memutuskan tidak membeli Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari petani karena dianggap tak sesuai dengan standar yang diterapkan IPOP. Apalagi hampir semua tata niaga kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh perusahaan yang ikut menandatangani IPOP. Praktis hal ini akan merugikan petani Indonesia yang menggunakan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Syarkawi menganggap tindakan yang dilakukan perusahaan tersebut diduga telah melanggar undang-undang yang berlaku. Saat ini, pihaknya sedang melakukan penyelidikan untuk membuktikan adanya kartel dalam penerapan standar IPOP.
"Nanti akan menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat," ujarnya. Menurut Syarkawi, ketentuan dalam IPOP hanya kesepakatan antarpelaku usaha tertentu, bukan dari pemerintah. Hal ini akan mengakibatkan terhambatnya pasokan kelapa sawit, khususnya bagi petani, karena tidak bisa menjual TBS.
Syarkawi melihat standar yang diterapkan IPOP cenderung lebih tinggi dibanding dengan regulasi yang diterapkan pemerintah. Padahal IPOP hanya asosiasi usaha yang tidak berhak menerapkan standar melebihi regulasi yang diterapkan pemerintah.
"Karena itu, KPPU menyatakan kesepakatan IPOP tidak dapat diimplementasikan." Menurut Syarkawi, IPOP telah berdampak negatif terhadap persaingan usaha. Dia menduga IPOP melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Sebelumnya, KPPU diminta DPR untuk memberi keterangan terkait dengan persaingan bisnis yang diterapkan IPOP. Kasus ini semakin mencuat ketika Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mewacanakan untuk membubarkan IPOP. Menurut dia, IPOP telah merugikan petani karena kelapa sawitnya tidak diserap oleh perusahaan yang tergabung dalam IPOP.
AVIT HIDAYAT