TEMPO.CO, Surabaya - Majelis Ulama Indonesia menyatakan telah selesai melakukan kajian terkait dengan fatwa untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal itu merupakan tindak lanjut rekomendasi yang pernah dikeluarkan dalam Forum Ijtima Ulama MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyah di Cikura, Tegal, Jawa Tengah, pada 8-10 Juni 2015 .
Dalam waktu dekat, mereka akan meluncurkan hasil tersebut ke masyarakat. "Karena sebelumnya tidak sesuai syariah, dibuatlah BPJS Syariah. Sudah selesai pembahasannya, tinggal diluncurkan nanti," kata Ketua MUI KH Maruf Amin seusai peluncuran Pusat Kajian Halal Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Kamis, 24 Maret 2016.
Maruf menyatakan, pembahasan di tingkat ulama sudah mencapai tahap final. BPJS akan mendapat pendampingan dan pengawasan dari MUI dalam pelaksanaan BPJS syariah tersebut. "Pengelolanya tetap BPJS. MUI mengawasi yang syariah, yang konvensional tidak."
Nantinya, masyarakat akan memperoleh dua opsi dalam produk BPJS, yakni BPJS konvensional dan BPJS syariah. "Kalau masyarakat ingin yang konvensional atau syariah, ya terserah," ujarnya.
Pengelolaan BPJS dan produknya yang sesuai syariah ini, kata Maruf, harus memenuhi sejumlah ketentuan. Maruf mencontohkan, dana yang harus disimpan di bank syariah. Serta akad pembayaran antara lembaga dan peserta BPJS secara jelas.
Maruf menyebutkan, amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal tak hanya berbicara soal makanan dan minuman. Namun, semua jenis produk yang digunakan, seperti baju, jilbab, sepatu, dan sandal. "Bahkan kayu yang digunakan di rumah."
Pada Forum Ijtima Ulama MUI Juni 2015, anggota Komisi Fatwa MUI, Arwani Faisal, menganggap BPJS perlu disempurnakan karena tak sesuai syariah. Ia dinilai mengandung gharar atau tipuan, maysir atau untung-untungan, dan melahirkan riba. Unsur maysir dan riba itu, mirip dengan yang dijumpai pada asuransi konvensional. Padahal, sistem tersebut pernah diharamkan MUI.
ARTIKA RACHMI FARMITA