TEMPO.CO, Jakarta - Komite Nasional KeselamatanTransportasi menyatakan Rudder Travel Limiter atau sistem pembatas kemudi pesawat AirAsia QZ 8501 nomor registrasi PK-AXC sudah 23 kali gangguan sebelum jatuh pada 28 Desember 2014. Gangguan itu terjadi dalam 12 bulan terakhir atau selama 2014 sebelum pesawat yang mengangkut 162 orang itu jatuh. “Selang waktu antara gangguan menjadi lebih pendek dalam 3 bulan terakhir,” kata Investigator Senior KNKT Kapten Nurcahyo Utomo di kantor KNKT, Jakarta, Selasa, 1 Desember 2015.
Menurut Nurcahyo, gangguan RTL PK-AXC itu diawali oleh retakan solder yang lokasinya berada pada vertical stabilizer. Namun maskapai penerbangan PT Indonesia AirAsia disebut tak menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. “Sistem perawatan pesawat dan analisa di perusahaan yang belum optimal mengakibatkan tidak terselesaikannya masalah yang berulang,” kata Nurcahyo.
Hasil investigasi KNKT ini klop dengan temuan Majalah Tempo pada 26 Januari 2015. Penerbang PK-AXC, Kapten Irianto, sempat melaporkan adanya gangguan pesawat pada 25 Desember 2014. Saat itu, pesawat batal terbang. Dalam logbook yang ditulis oleh Irianto, terjadi masalah pada auto-flight rudder travel limiter.
Berdasarkan data logbook pemeliharaan maskapai, sejak 12 Desember 2014 pesawat ini mengalami kerusakan auto-flight rudder travel limiter berulang kali. Pesawat yang pertama kali diuji terbang pada September 2008 itu juga mengalami kerusakan pada elevator actuator model (ELAC) I, yaitu sistem kendali yang mengatur naik-turun pesawat.
Bahkan, pada 19 Desember, teknisi AirAsia menuliskan laporan bahwa kerusakan auto-rudder masuk pada kategori C, yaitu harus diganti dalam waktu 10 hari. Artinya, tenggat mengganti auto-rudder adalah 29 Desember, satu hari setelah kecelakaan.
Sejak teknisi melaporkan kerusakan pada flight control itu masuk kategori C, kerusakan masih berulang kali terjadi. Salah satunya insiden RTA saat pesawat dikemudikan oleh Iriyanto di Juanda Surabaya. Sehari sebelum kejadian pesawat jatuh, indikator kerusakan pada auto-rudder masih menyala.
Dalam laporan investigas KNKT yang dirilis hari ini, kerusakan RTL itu memicu dimatikannya circuit breaker (CB) dari flight augmentation computer (FAC) oleh awak pesawat. Setelah RTL di-reset saat pesawat terbang itulah FAC 1 dan 2 mati. Matinya dua FAC itu menyebabkan pilot menerbangkan pesawat secara manual pada posisi alternate law atau beberapa proteksi pesawat tak berfungsi.
“Pengendalian pesawat selanjutnya secara manual pada Alternate Law telah menempatkan pesawat dalam kondisi “upset” dan "stall" secara berkepanjangan sehingga berada diluar batas-batas penerbangan (flight envelope) yang dapat dikendalikan oleh awak pesawat,” kata Nurcahyo.
KHAIRUL ANAM
Baca juga:
3 Hal Ini Bikin Ketua DPR Setya Novanto Sulit Ditolong!
Selidiki Setya Novanto, Jaksa Agung: Ada Pemufakatan Jahat