TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) Faisal Basri mengatakan masih banyak calo mafia migas yang berkeliaran di Indonesia meskipun PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) sudah dibubarkan.
"Sudah bukan rahasia lagi, anak usaha Pertamina itu justru bekerja sebagai calo pengadaan BBM untuk negara. Di situ menjadi sarang mafia, yang pada gilirannya menjadi benalunya aset negara. Sedangkan mafia migas juga masih berkeliaran," kata Faisal seusai menghadiri diskusi Economic Outlook di Suara Surabaya Center (SSC), Rabu malam, 11 November 2015.
Faisal mengatakan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto seolah menganggap tidak ada masalah dengan menyebutkan pengawasan yang lemah dan tidak ada kerugian negara. Menurut Faisal, kerugian negara bisa dikalikan serta dihitung sendiri, seperti nama perusahaan yang menjadi pihak ketiga, Global Energy Resources.
"Setiap hari Pertamina membeli devisa dari perbankan sebesar US$ 150 juta per hari untuk menjalankan bisnis minyak yang banyak bertransaksi dengan dolar, sedangkan ketika impor minyak masih dilakukan oleh Petral bisa memperoleh diskon harga antara US$ 0,3 sampai 1,3 per barel," tuturnya.
Pertanyaannya, kata Faisal, ke mana larinya diskon tersebut dengan jumlah impor sehari sebanyak 400-500 ribu barel. Menurut dia, diskon ini menjadi lahan permainan pada masa lalu dan harus direnggangkan dari sektor politik.
"Salah satu kecurangannya adalah pemenang tender harus national oil company (NOC), Namun fakta dan temuan menunjukkan banyak NOC pemenang tender tidak memiliki minyak sendiri, seperti Maldives NOC Ltd yang menjadi satu perusahaan dalam daftar mitra usaha Petral, padahal Maldives tidak punya sumber minyak," paparnya.
Faisal mengungkapkan pihaknya sudah menyampaikan rekomendasi ke Dirut Pertamina. Dia meminta laporan tersebut dibuka kepada publik karena sudah tidak ada lagi yang dirahasiakan, seperti laporan yang bisa diakses di Internet oleh siapa pun.
"Laporan ini ada dua bagian, salah satunya bagian utuh analisis yang berisikan sekitar 70-80 halaman dan lampirannya yang banyak sekitar 350 halaman. Sebaiknya semua laporan itu bisa dibuka dan bacanya yang benar agar tidak ada kesimpangsiuran," tandasnya.
ANTARA