TEMPO.CO, Jakarta - Hobi mengumpulkan barang kuno membawa hoki bagi Luthfi Hasan. Berkat ketekunannya mengoleksi barang jadul, pria yang aktif menulis di blog itu mendapat tawaran menjadi kurator dari sebuah rumah lelang. "Saya memang menggemari benda-benda lama," kata Luthfi saat ditemui di Jakarta, Selasa, 29 September 2015.
Tepatnya pada November 2012, Luthi memulai debutnya menjadi kurator dan bisnis sampingan barang-barang furnitur secara daring (online). Meski sebagai usaha sampingan pada Januari 2013, ia menamakan "daur ulang" karena saat itu hanya sebatas memperbaiki furnitur lama dan tidak terpakai.
Baras bekas itu kemudian dipermak sehingga tampak baru dan menawan. Mulai dari memvernis hingga mengubah bentuk ia jalani dengan tekun. Usahanya itu berlanjut hingga mengantarkan Luthfi membuka "lapak" menjual furnitur lawas pusat belanja Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan. Toko itu dinamainya sesuai nama blog-nya, "Jakarta Vintage".
Memasuki Jakarta Vintage, pengunjung melewati pintu tua berwarna hijau serta etalase kaca bertuliskan Life is about looking forward, unless it's vintage. Semboyan yang sama tertulis di dalam, di hiasan dinding sebelah papan tulis hitam-putih yang memuat nama toko tersebut.
Pada etalase yang sama, terpajang dua kursi tanpa lengan dengan bantalan empuk dan dominan warna hitam. Salah satunya memiliki bantalan punggung dengan hiasan belah ketupat berwarna-warni dari sulaman tangan. Di dalam toko, beragam kursi jengki yang populer di penghujung tahun 1970-an dan sudah dipoles.
Dua kursi lawas di antaranya dipoles dengan bantalan berwarna putih bercorak gunung dan matahari yang mewakili suasana California, Amerika Serikat. Bahan kain yang dipakai merupakan bekas handuk dari negara tersebut. Di dekatnya, lima kursi makan berwarna cokelat, biru, oranye, dan putih menempel di dinding.
Beragam kursi ini bercampur dengan koleksi lawas milik Luthfi di toko. Seperti patung porselen, hiasan tanduk rusa, timbangan tua, maupun piringan hitam dan pemutarnya. Semuanya acak, tanpa motif maupun gaya tertentu yang dominan.
"Lima tahun lalu orang-orang menjual furnitur apa adanya, jadi tidak ada kreativitas atau inovasi. Begitu saya coba tampilkan dengan unsur-unsur lain, furnitur lawas itu jadi kelihatan segar dan unik, sehingga bisa dijual dengan harga lebih tinggi," kata Luthfi kepada Tempo di tokonya, Selasa, 29 September 2015.
Awalnya, karena pelanggan pertamanya kebanyakan adalah ekspatriat, Luthfi berkreasi dengan memperbaiki furnitur tua yang tidak terpakai, lalu memberinya tambahan bantalan kursi dari bahan unik. Seperti linen bekas handuk tangan dari luar negeri yang kuat dan memiliki corak-corak khas negara tersebut, sebagai bantalan kursi.
Makin banyak orang menggemari barang-barang dagangan Luthfi. Ia pun mencoba mengubah produknya: tidak lagi mendaur ulang. Tapi langsung membuat furnitur dari bahan kayu jati tua. Material ini diperoleh dari kusen bekas bongkaran rumah kuno di Jawa Tengah.
Luthfi berkreasi dengan beragam material, motif, dan warna. Antara lain, kain yang ia desain sendiri (beberapa desain ia gabungkan dari koleksi barang vintage miliknya), bulu imitasi, beludru, hingga kulit sapi. "Kekuatan kami ada di orisinalitas. Kami bermain berani dengan material, motif maupun warna supaya tetap menyenangkan. Jadi, setiap desain selalu ada twist-nya," kata Luthfi, yang tiap tahun mengeluarkan empat koleksi untuk furnitur di Jakarta Vintage ini.
Cara ini membuat Luthfi kebanjiran pesanan. Omzetnya menembus Rp 100 juta sebulan. Omzet itu di luar jasa desain rumah, kantor maupun kafe yang juga ia tawarkan. Padahal harga kursi yang Luthfi tawarkan sangat bervariasi, mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 11 juta.
Untuk meja ia tawarkan mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 4,5 juta. Luthfi menyebut, dari mengolah furnitur bekas hingga menjadi layak jual tersebut, ia bisa mendapat keuntungan tiga kali lipat. Sedangkan untuk pemasaran, Luthfi rajin berpromosi di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, juga ikut pameran.
Penulis buku Happy Vintage ini percaya, kegemaran orang akan barang lawas tidak akan terus tumbuh. Barang-barang lama dianggap bisa membawa kedamaian, kebahagiaan, dan ingatan ke masa lalu yang hangat bagi si empunya.
INEZ CHRISTASTUTI HAPSARI