TEMPO.CO, Jakarta - Bank Pembangunan Asia (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,5 persen menjadi 4,9 persen. Untuk proyeksi tahun depan, ADB mematok angka 5,4 persen.
Deputi Country Director ADB untuk Indonesia, Edimon Ginting, mengatakan penurunan proyeksi ini lantaran perbaikan dalam negeri tak sekuat perkiraan. Ia mengatakan reformasi di segala bidang yang dilakukan pemerintah diharapkan akan berdampak cepat, tapi tertunda.
Salah satunya kenaikan harga bahan bakar minyak yang diperkirakan akan berdampak terhadap pembangunan infrastruktur, tapi ternyata tidak. Kontribusi investasi juga tertahan. Hingga saat ini yang menopang pertumbuhan ekonomi adalah belanja pemerintah dan investasi. “Namun keduanya masih tertahan, belum terlihat dampaknya,” katanya di Jakarta, Selasa, 22 September 2015.
Arus dana keluar juga terus terjadi dari dua sebab. Pertama, short term bond dan capital market. Kedua, untuk membayar utang. Pembayaran utang ini, kata dia, bersifat terprediksi, tak seperti alasan pertama. “Tapi alasan pertama saat ini trennya mulai turun,” ujarnya.
Padahal penerimaan negara juga belum bisa diharapkan. Penurunan harga minyak, kata dia, diperkirakan akan menyebabkan shortfall lebih besar daripada perkiraan pemerintah, yakni Rp 120 triliun. Jika shortfall benar-benar lebih dari perkiraan, pemerintah diperkirakan akan memperlebar defisit ke 2,5 persen. “Tak apa tambah defisit asalkan masih prudent. Ini tak akan ganggu kepercayaan pasar,” tuturnya.
Namun Edimon mengatakan pemerintah dan Bank Indonesia harus punya strategi untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Bank Indonesia, yang sudah mengimbau untuk hedging, dinilai cukup efektif.
Selain itu, BI harus memastikan cadangan devisa lebih besar daripada arus modal keluar. “Reformasi itu penting karena harus menyediakan dolar di dalam negeri dengan investasi,” katanya. Tak kalah penting, kestabilan sektor keuangan juga harus dijaga.
TRI ARTINING PUTRI