TEMPO.CO , Sidoarjo - Perajin tempe di sentra pembuatan tahu-tempe di Desa Sepande, Kecamatan Candi, Sidoarjo, Jawa Timur, mengaku keuntungannya turun sekitar 5 persen menyusul melambungnya harga kedelai impor karena melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
"Kalau dihitung, kenaikkan harga kedelai impor sebesar 10 persen. Sedangkan keuntungan turun menjadi 5 persen," kata Sukari, perajin tempe di desa setempat, yang juga Ketua Primer Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) Karya Mulya, Ahad, 20 September 2015.
Angka 5 persen tersebut, kata dia, diperoleh dengan memperkecil ukuran tempe. "Kalau menaikkan harga tempe, tidak mungkin. Yang mungkin adalah memperkecil ukuran tempe. Sebab, perajin sudah punya pelanggan sendiri-sendiri. Kalau dinaikkan, mereka protes," ujarnya.
Menurut Sukari, mahalnya kedelai impor juga mempengaruhi omzet. Sebelum harga naik, dalam sehari ia bisa menghabiskan 50 kilogram kedelai, tapi kini hanya 40 kilogram. "Itu pun setiap hari kalau dijual tidak laku semua. Masih ada sisa," ujarnya.
Di tingkat distributor, harga kedelai impor dengan beragam merek mengalami kenaikan. Kedelai impor merek Bola dijual seharga Rp 7.075 per kilogram, BW Rp 6.850, dan Berlian Rp 6.950. "Akibatnya, penjualan kedelai impor di koperasi juga turun. Dari 16 ton per hari, saat ini tinggal 12-13 ton."
Menurut Sukari, jumlah secara keseluruhan perajin tahu dan tempe yang menjadi anggota Koperasi Karya Mulya sekitar 270 orang. Namun, bila dihitung secara keseluruhan, ada sekitar 400 perajin tahu-tempe yang ada di Sepande.
NUR HADI