TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli meminta masyarakat dibebaskan memilih pembelian listrik melalui dua cara, dengan sistem meteran atau sistem pulsa. "Karena banyak keluarga, jam 19.00, jam 20.00 malam anaknya masih belajar, cari pulsa susah gitu lho." Kata Rizal di kompleks Istana Presiden, Selasa, 8 September 2015.
Rizal meminta pembayaran listrik dengan sistem token dilakukan secara terbuka, efisien, dan transparan. Hal itu dia harapkan agar rakyat tidak rugi jika membeli listrik prabayar. "Yang terjadi selama ini banyak hal yang tidak transparan. Karena kalau saudara beli pulsa dibandingkan dengan meteran bisa lebih murah," kata dia. Tidak hanya soal pulsa listrik, Rizal juga meminta pembelian listrik dengan cara meteran juga transparan.
Sebelumnya Rizal Ramli meminta PT PLN mengkaji ulang pembayaran listrik dengan sistem token. Sistem token saat ini dinilai mengandung unsur monopoli bayaran. "Tak boleh ada lagi monopoli, baik itu menggunakan meteran atau pulsa," kata dia, Senin, 7 September 2015.
Dia mencontohkan dengan sistem listik prabayar yang pulsa listriknya lebih sedikit ketimbang harga belinya. Menurut Rizal, dibandingkan dengan pulsa telepon yang sudah tersedia di mana-mana dan biaya administrasi yang tidak mahal, pulsa listrik dinilai benar-benar telah dimonopoli. "Kalau pulsa telepon, kita beli Rp 100 ribu, kita bayar Rp 95 ribu, itu istilahnya uang muka," kata dia.
Selama ini, rakyat diwajibkan menggunakan token pulsa listrik lantaran ada monopoli di perusahaan listrik itu pada masa lalu. Karena itu, Rizal meminta monopoli sistem tarif listrik. Ia juga meminta agar biaya administrasi pulsa listrik maksimal hanya Rp 5 ribu, sehingga tak memberatkan rakyat.
Pernyataan Rizal Ramli tersebut sudah disanggah oleh ekonom Faisal Basri. Faisal dalam blog pribadinya menyebutkan pelanggan yang membeli pulsa listrik Rp 100 ribu sebenarnya mendapatkan token Rp 94.726 atau mengalami penyusutan sekitar 5,3 persen. "Bukan 27 persen seperti yang ditengarai oleh Pak Menko disedot mafia,” tulis Faisal.
Menurut Faisal penyusutan tersebut terjadi karena adanya biaya administrasi yang harus dibayar pelanggan serta Pajak Penerangan Jalan (PPJ).
ALI HIDAYAT
Baca juga:
Inilah yang Terjadi Di Balik Pertemuan Novanto-Trump
Drama Budi Waseso: Jokowi-JK Menguat, Kubu Mega Menyerah?