"Sejak awal sudah diseleksi saat masih di plate, mana mikroba yang kira-kira bisa akur mana yang tidak. Kita bangunkan tentara-tentara mikroba yang menjadi agen hayati bekerja 24 jam menyuburkan tanah tanpa pernah tidur," ujar Anton.
Mikroba unggulan yang telah melalui tahap isolasi dan seleksi di laboratorium dan berhasil menghasilkan isolat unggulan termasuk empat berasal dari Malinau diantaranya Rhizobium, Azotobacter, Pseudomonas, Bacillus, Trichoderma, Klebsiela, Streptomyces, Aspergillus, Penicillium, Burkholderia.
Mikroba-mikroba tersebut melakukan aktivitas biokatalis, berperan menambat N (nitrogen), melarutkan P (fosfor), K (kalium), menghasilkan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT), asam-asam organik, Biopestisida.
Pupuk organik hayati itu tidak hanya sekedar mengembalikan unsur hara tanah tetapi juga menambah daya tahan tumbuhan dari serangan penyakit.
Formula pupuk itu juga dapat meningkatkan molekul klorofil yang mempermudah tumbuhan berfotosintesa sehingga membuat tumbuhan semakin subur dan buahnya semakin banyak dan manis.
Menurut peneliti yang mempelajari pengembangan pupuk hayati selama tujuh tahun di Jerman itu, umumnya pupuk organik yang ditemukan di pasaran hanya menggunakan dua hingga tiga mikroba saja.
"Tidak mudah menggabungkan mikroba dalam jumlah banyak yang tidak saling menyerang," ujarnya.
Karena itu pula ia berani menyebut pupuk organik hayati cair yang dikembangkan LIPI tersebut lebih dari sekedar pupuk organik hayati biasa (Beyond Organic).
Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati mengatakan pengembangan pupuk dari mikroba dapat dilakukan lebih cepat dibanding membuat obat atau fitofarmaka.
"Apalagi seperti Pak Anton yang memang sudah standarisasi metodenya," kata Enny.
LIPI mendorong para peneliti untuk menyempurnakan formula-formula yang telah diciptakan, termasuk pupuk organik hayati tersebut.
"Siapa tahu bisa kita ubah atau diperbaiki formulanya yang lebih potensial misalnya penambah pospor, penambah nitrogennya atau hormon tumbuh," ujarnya.
Pupuk organik hayati Beyonic yang dikembangkan oleh peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI Sarjiya Antonius itu disebut Enny memang berbeda.
"Kan banyak yang tidak tahu kenapa kok dikasi bahan organik seperti kompos. Ini kan sebagai sumber nitrogen karena ternyata bakterinya makan lebih lahap jika dicampur itu, jadi lebih bagus, dengan demikian kerjanya lebih kuat," paparnya.
Dengan biaya produksi Rp8.000 perliter, menurut sang peneliti, harga pupuk cair itu cukup kompetitif dengan pupuk kimia seperti urea.
Dari satu liter biang pupuk organik hayati cair yang disebut Beyonic starTmilk dapat dijadikan 1.000 liter pupuk cair yang langsung bisa digunakan oleh petani.
Sebelumnya, untuk satu hektar (ha) lahan dibutuhkan sekitar 400 kilogram (kg) pupuk urea namun satu liter pupuk organik hayati cair yang dikembangkan LIPI tersebut dapat digunakan untuk lahan seluas 1.000 meter persegi atau membutuhkan sekitar 10 liter pupuk cair untuk lahan seluas satu hektar.
Formula pupuk ini pernah ingin dibeli oleh perusahaan produsen pupuk namun Anton menolaknya.
Ia lebih senang mendesiminasikan langsung kepada petani dan Pemerintah Daerah untuk memajukan pertanian di pelosok Indonesia demi mencapai kemandirian pangan.
Itu pula yang menjadi alasan peneliti ini kembali ke Malinau karena ia ingin bisa mengembalikan manfaat mikroba yang diambil dari keanekaragaman hayati yang dimiliki kabupaten konservasi tersebut untuk kesejahteraan masyarakat setempat.
ANTARA