Meski belum mampu mengirimkan hasil pertaniannya keluar dari Malinau, dirinya senang bisa meningkatkan pasokan untuk memenuhi kebutuhan sayur dan buah-buahan di daerahnya.
"Saya tanam macam-macam, tomat, melon, semangka, kacang tanah. Dari lahan kurang dari satu hektar, sekali panen semangka bisa 20 sampai 30 ton," ujar dia.
Ia mengaku baru saja mengeluarkan uang Rp25 juta untuk menyiapkan lahan dan menutupnya dengan mulsa untuk ditanami semangka dan cabai.
Sugianto mengaku yakin dalam dua bulan biaya yang telah dikeluarkannya tersebut sudah akan balik modal.
Petani Pendamping Terampil asal Kulon Progo Pujiman (45) mengatakan pemanfaatan pupuk organik hayati dari LIPI yang dilakukan di Desa Semenggaris memang membawa perubahan.
Dari satu hektar (ha) lahan sawah yang biasanya menghasilkan kurang dari satu ton bisa meningkat menjadi hingga empat ton.
Tanaman cabai yang diberi pupuk yang sama pun, menurut dia, tumbuh lebih tinggi dan bercapang lebih banyak sehingga bakal bunga muncul lebih banyak.
"Biasanya tanaman cabai sampai bercabang lima ini bisa lebih dari 12. Bunganya jadi lebih banyak".
Cerita sukses dari Richard dan Sugianto hanya contoh kecil dari kisah petani yang sudah memanfaatkan teknologi pupuk organik hayati tersebut.
Sebelumnya cerita sukses serupa sudah lebih dulu terdengar dari petani-petani di Kulon Progo, Wonogiri, hingga Ngawi.
Semua itu berawal dari penggunaan pupuk organik hayati yang dikembangkan sejak tujuh tahun lalu oleh Anton dengan memanfaatkan 10 mikroba lokal hasil eksplorasi dari berbagai daerah di Indonesia.
Selanjutnya: Sejak awal..