TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Rachmat Gobel yakin penghapusan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) tidak akan berdampak terlalu besar pada arus impor. “Saya rasa itu sudah dihitung untuk memperbaiki ekonomi kita dan neraca perdagangan,” kata dia, Selasa, 16 Juni 2015.
Begitu diberlakukan per Juli mendatang, Rachmat optimistis pasar dalam negeri tak akan serta-merta dibanjiri barang mewah impor. “Tidak bisa mendadak (impor) berlebih kan. Pasti mereka juga impor dengan satu kalkulasi kebutuhan di dalam negeri juga,” katanya.
Kamis pekan lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengumumkan penghapusan PPnBM untuk beberapa barang mewah, antara lain tas, arloji, dan alas kaki. Pemerintah beralasan, kebijakan ini diambil untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong tumbuhnya industri dalam negeri.
Menteri Bambang mengatakan keputusan itu diambil karena sebagian besar barang yang dianggap mewah telah dikonsumsi secara luas. Selain itu, biaya pengumpulan barang-barang yang dihapuskan dari pengenaan PPnBM dianggap terlalu mahal. “Biaya mengawasi dan mengumpulkannya lebih tinggi daripada penerimaannya,” tuturnya.
Untuk mengimbangi berkurangnya penerimaan negara dengan penghapusan sebagian PPnBM tersebut, pemerintah menaikkan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 atas impor barang tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dampak peningkatan impor atas barang yang dihapuskan pengenaan PPnBM-nya. “Ini juga akan meningkatkan kepatuhan dan pengawasan,” kata Bambang.
Selama lima tahun belakangan ini, penerimaan negara dari PPnBM secara umum terus meningkat. Tahun lalu PPnBM yang dibukukan mencapai RP 408,8 triliun, atau naik ketimbang di 2011 sebesar Rp 277,7 triliun. Sementara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 dipatok target penerimaan PPnBM sebesar Rp 525 triliun.
PINGIT ARIA | TRI ARTINING PUTRI