TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melapor kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang risiko defisit neraca keuangan perusahaan hingga Rp 6 triliun lantaran moral hazard penggunaan jaminan kesehatan nasional.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Fachmi Idris mengatakan perusahaan berkomitmen menyukseskan Kartu Indonesia Sehat yang ditargetkan melindungi 88,2 juta penduduk. Namun implementasi program jaminan kesehatan ini bukan tanpa tantangan.
"Dengan catatan ada potensi defisit karena adanya moral hazard penggunaan pelayanan," katanya di kantor Wakil Presiden, Kamis, 4 Juni 2015.
Moral hazard yang dimaksud Fachmi, misalnya, penggunaan BPJS Kesehatan untuk pengobatan penyakit berat oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas. Dengan membayar premi tertinggi Rp 60 ribu, peserta tersebut mengajukan klaim senilai lebih dari Rp 100 juta. Di sisi lain, peserta itu juga mengajukan klaim kepada asuransi komersial.
Adapun mismatch atau defisit neraca keuangan tersebut terjadi pada 2014. Defisitnya mencapai Rp 3,3 triliun dan ditutup dari dana cadangan Rp 5,6 triliun. "Pada 2015 kita hitung akan ada potensi mismatch sebesar Rp 6 triliun," ujar Fachmi.
Indikasi defisit neraca keuangan telah terlihat pada kuartal I/2015. Sepanjang periode tersebut, neraca BPJS Kesehatan membukukan pendapatan iuran Rp 12 triliun dengan jumlah klaim yang diproyeksikan mencapai Rp 13 triliun. Dengan demikian, neraca keuangan diperkirakan defisit Rp 1 triliun. Namun risiko tersebut ditutup dengan penyertaan modal negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015.
"Ke depan, pada 2016, kita tidak ingin bahwa mismatch ditutup dengan suntikan dana. Kita ingin mismatch secara struktur kita perbaiki, salah satunya dengan perbaiki iuran peserta," tuturnya.
Perusahaan pelat merah ini mengusulkan kenaikan premi peserta kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Rp 19.500 per orang menjadi sekitar Rp 27.500-40.000 per orang pada 2016.
Untuk mencegah risiko tersebut, BPJS Kesehatan juga akan terus mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mendaftarkan diri menjadi peserta jauh hari sebelum sakit. Wakil Presiden, kata Fachmi, mendukung proses administrasi kepesertaan BPJS Kesehatan dari 7 hari menjadi 14 hari. Tujuannya agar timbul implikasi sosial, sehingga masyarakat sadar dan mau mendaftarkan diri sebelum jatuh sakit.
"Kita ingin agar program untuk masyarakat banyak tidak dimanfaatkan mereka yang kurang baik," ucap Fachmi.