TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, ada beberapa keluhan utama para pengusaha tambang. Antara lain soal perpajakan, tumpang tindih lahan, hingga perizinan.
"Seperti pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai," kata Sofyan seusai bertemu Presiden Joko Widodo beserta para pengusaha pertambangan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 15 April 2015.
Pemerintah dan pengusaha sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut satu per satu. Setelah itu, para pengusaha direncanakan akan bertemu dengan beberapa kementerian teknis seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan.
Menteri Koordinator Bidang Maritim Indroyono Soesilo juga mengatakan tiga hal tersebut paling banyak dikeluhkan pengusaha tambang. Meski mengeluh, mereka sepakat untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertambangan dan mendirikan smelter.
Ini kata Indroyono patut diapresiasi. Apalagi mereka kerap terganjal kendala infrastruktur lahan dan perizinan. "Tapi saya kira semangatnya bagus."
Bahkan dalam pertemuan itu, Indroyono mengklaim tak ada pengusaha pertambangan yang menolak untuk membangun smelter. "Tadi tak ada Newmont dan Freeport. Tapi 20 pengusaha tambang itu saya kira bisa dipakai rujukan," katanya.
Direktur Utama PT Bukit Asam (Persero) Tbk Mulawarman mengatakan, Jokowi berjanji untuk mencarikan solusi atas keluhan para pengusaha. "Perizinan, tumpang tindih lahan, ekspor, smelter, hingga pembangkit," kata dia.
Selain menampung keluhan, Jokowi juga meminta agar para pengusaha meningkatkan nilai ekspor. "Beliau meminta agar jangan terulang kembali dan terlena," kata Mulawarman.
Arahan Jokowi tersebut merujuk pada kondisi industri pertambangan dalam negeri yang tak melakukan industrialisasi saat harga komoditas sedang tinggi.
Pengusaha, kata Mulawarman, juga meminta kepada presiden untuk memberikan insentif seperti tax holiday. Di beberapa negara besar pemberian fasilitas tax holiday sudah umum. "Contohnya investasi pada industri batu bara yang sedang lesu karena tak ada insentif."
FAIZ NASHRILLAH