TEMPO.CO, Surabaya - Pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo nanti menghadapi sedikitnya dua tantangan dalam upaya meningkatkan kinerja ekspor. Pertama adalah harga komoditas unggulan Indonesia, yakni batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO), yang terus turun serta konsumsi domestik yang juga semakin menggerus porsi ekspor.
"Keduanya itu yang menyebabkan defisit pada neraca perdagangan kita," kata Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal Mahendra Siregar ketika bicara dalam Business Gathering Indonesia Eximbank di Hotel JW Mariott, Surabaya, Kamis malam, 9 Oktober 2014.
Mahendra mengungkapkan harga batubara dan CPO anjlok di pasar global selama dua tahun terakhir. Harga CPO yang pada kuartal III/2013 masih tercatat US$ 1.200 per ton. Namun pada awal 2014, harga CPO berkisar US$ 900 dan kini US$ 790.
Komoditas batubara bahkan bertahan di level 55 persen dibandingkan dengan harganya pada tiga tahun lalu. "Ini tanda bahwa kita tidak bisa bergantung lagi pada komoditas mentah untuk diekspor karena berisiko pada pergolakan harga internasional," kata Mahendra.
Untuk tingginya konsumsi domestik, Mahendra memberi gambaran dengan produksi kakao nasional. Pada 2010, sebanyak 90 persen dari produksi yang sebesar 600 ribu diarahkan untuk ekspor. Namun kini kapasitas industri pengolahan kakao nasional hanya 450-500 ribu ton sehingga komoditas yang diekspor pun semakin sedikit.
Mahendra mengatakan konsumsi domestik secara tak langsung mendorong pertumbuhan industri otomotif. Pada 2009 produksi mobil nasional hanya 400 ribu unit, tapi tahun ini telah mencapai 1,45-1,5 juta unit. Di sisi lain, kapasitas industri mobil dalam negeri sudah menyentuh angka 2 juta unit per tahun. "Bahkan, industri beberapa kali merevisi proyeksi. Awalnya 2 juta unit pada 2019, kini malah 2016," kata dia.
ARTIKA RACHMI FARMITA
Terpopuler
Dijegal DPR, Jokowi Tak Segan Keluarkan Hak Veto
Adik Prabowo Sebut Hasil Wawancaranya Dipelintir
Ormas Anarkistis, Jokowi: Gebuk Saja
Ilmuwan Kecam Politik Bumi Hangus Koalisi Prabowo