TEMPO.CO, Jakarta - Pergerakan rupiah yang cenderung stagnan dinilai sebagai upaya bank sentral untuk menjaga keseimbangan nilai tukar. Di transaksi pasar uang dalam negeri, rupiah pagi ini ditransaksikan cenderung melemah pada kisaran 11.300 hingga 11.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Sebaliknya, di pasar non-deliverable forward (NDF), selama bulan, rupiah justru menguat ke level. 10.880 per dolar AS.
Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta, mengatakan selisih negatif rupiah di pasar NDF selama satu bulan dan kurs Bank Indonesia (BI) bisa berarti optimisme asing terhadap penguatan rupiah. "Tetapi kurs BI yang lebih tinggi juga memberikan sinyal ke mana bank sentral mengarahkan kurs rupiah."
Menurut Rangga, langkah BI mempertahankan rupiah di ekuilibrium 11.300 per dolar cukup strategis. "Mempertahankan kurs rupiah tetap di zona lemah bisa menambah pasokan dan menekan permintaan dolar," ujar dia.
Beban defisit perdagangan yang terjadi sejak tahun lalu serta permintaan dolar yang tinggi di pasar domestik menunjukkan betapa pergerakan rupiah masih rawan. Rupiah bahkan sempat ditransaksikan pada kisaran 11.700 per dolar AS karena terseret sentimen negatif global.
Berbagai kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral pun masih belum mampu meredakan gejolak rupiah. Aktivitas bilateral currency swap yang dilakukan Bank Indonesia belakangan ini menunjukkan kondisi likuiditas dolar yang belum mampu mengimbangi permintaannya.
Bagi Rangga, mempertahankan kestabilan rupiah pada kisaran ini cukup beralasan. "Mengingat masih ada beberapa risiko ke depan seperti tapering The Fed dan defisit neraca pembayaran yang berkepanjangan."
PDAT | M. AZHAR
Berita Terpopuler:
Ahok Minta Perbaikan Jalan Rampung Sehari
Faisal Basri:Bunda Putri Anak Ketua Golkar Jakarta
Begini Cara Install BBM di Android dan iPhone
Monorel Disebut Balas Budi, Jokowi: Gimana Sih?
Misteri Gelar Ratu Atut Terpecahkan