TEMPO.CO, Surakarta -- Produksi garmen di Surakarta, Jawa Tengah, bangkit lagi. Gairah memproduksi garmen dipicu terbukanya pasar baru di luar pasar tradisional di Eropa. Pasar baru itu adalah Bangladesh dan Cina.
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah Joko Santoso mengatakan ekspor ke Bangladesh dan Cina didorong pelaku usaha di sana cenderung mengimpor ketimbang memproduksi. "Keselamatan kerja menjadi perhatian serius di Bangladesh. Apalagi setelah peristiwa kecelakaan kerja beberapa waktu lalu," katanya kepada wartawan di Surakarta, Senin, 15 Juli 2013.
Adapun di Cina, faktor tingginya upah tenaga kerja membuat pengusaha memilih mengimpor. "Apalagi pajak yang tinggi juga mengganggu produksi garmen," ujarnya. Joko menilai cerahnya ekspor garmen bagai angin segar di tengah turunnya ekspor tekstil. Ekspor tekstil tujuan Eropa cenderung turun belakangan ini.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surakarta menyebutkan ekspor dan produk tekstil turun dari semula US$ 2,548 juta pada Mei lalu, menjadi US$ 1,189 juta per Juni tahun ini.
Kepala Seksi Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surakarta Endang Kurnia Maharani mengatakan tidak hanya ekspor dan produk tekstil yang menurun. Komoditas unggulan seperti batik dan mebel juga mengalami kelesuan di kota yang juga dikenal dengan nama Solo ini.
Untuk batik, nilai ekspornya tercatat US$ 1,421 juta pada Mei tahun ini. Jumlahnya menurun menjadi US$ 880 ribu pada Juni. Periode yang sama, mebel turun dari US$ 165 ribu menjadi US$ 90,7 ribu.
Secara total, nilai ekspor Juni 2013 paling rendah ketimbang bulan sebelumnya. Total ekspor di Juni sebesar Rp 2,528 juta, turun jauh jika dibandingkan nilai ekspor Mei sebesar US$ 4,642 juta, April US$ 2,620 juta, Maret US$ 2,717 juta, Februari US$ 3,444 juta, dan Januari US$ 4,685 juta. "Karena krisis di Eropa belum membaik, sehingga berpengaruh," katanya.
UKKY PRIMARTANTYO