TEMPO.CO, Jakarta - Melemahnya data-data ekonomi global, ditambah dengan tingginya permintaan dolar di pasar domestik, membuat tekanan rupiah masih ada.
Di transaksi pasar uang, rupiah menguat tipis 3 poin (0,03) persen ke level 9.747 per dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah mengikuti mata uang regional yang umumnya mengalami apresiasi terhadap mata uang Negeri Abang Sam.
Katalis positif mata uang berasal dari penguatan kembali euro ke level US$ 1,30, serta yen yang terus melemah mendekati level 99 per dolar. Bank sentral Jepang berkomitmen terus mengucurkan stimulus untuk melemahkan mata uang dan melawan deflasi.
Analis dari PT Monex Investindo Futures, Albertus Christian, mengatakan rupiah mengalami apresiasi dipicu pelemahan dolar terhadap mata uang rivalnya menjelang pertemuan Bank Sentral Amerika (The Fed). "Data ekonomi yang masih negatif membuat pasar optimistis bank sentral akan terus mendorong stimulus."
Meski demikian, rupiah belum sepenuhnya lepas dari tekanan dolar. Pelemahan dolar yang terjadi akibat sentimen positif bank sentral hanya bersifat sementara. Pelaku pasar masih dibayangi oleh lambatnya pemulihan ekonomi global serta defisit perdagangan di dalam negeri.
Menurut Albertus, defisit perdagangan yang terjadi di kuartal I 2013 telah membuat permintaan dolar di dalam negeri meningkat dan cadangan devisa semakin menyusut.
Belum jelasnya kepastian mengenai impor bahan bakar minyak (BBM) juga terus menggerogoti rupiah. "Pemerintah tampaknya masih kebingungan mencari cara untuk mengurangi impor BBM tanpa harus mengambil opsi kenaikan."
Hingga pukul 17.00 WIB, mata uang Asia cenderung menguat terhadap dolar AS. Dolar Singapura ditransaksikan di 1,2412 per dolar AS, dolar Hong Kong 7,7634 per dolar AS, dan won 1.140,15 per dolar AS. Kemudian yuan 6,2038 per dolar AS, dan ringgit 3,0575 per dolar AS.
PDAT | M. AZHAR