TEMPO.CO, Singapura – Garden by the Bay merupakan taman yang berisi tumbuhan dari beragam penjuru dunia. Taman ini dibangun pemerintah Singapura di atas tanah urugan. Cara reklamasi pantai ditempuh karena sempitnya lahan di negara ini.
Kendati sempit, Singapura berhasil membangun taman seluas lebih dari 100 hektare ini pada Juni 2012. Taman ini bertujuan menyedot wisatawan penggemar botani di seluruh dunia. Setiap pengunjung dikenakan S$ 65 atau Rp 507 ribu per orang. Beberapa koleksi tanamannya adalah cocor bebek dari Madagaskar, pohon palm bernanas, kaktus besar dari gurun Amerika, kantong semar, tanaman di hutan liar.
Kemegahan Garden by the Bay membuat taipan properti Ciputra kepincut membangun taman serupa di Indonesia. Ide membangun taman serupa telah masuk dalam perencanaan bisnis Ciputra. “Yang seperti ini sangat bisa dibangun di Indonesia,” katanya saat berkunjung ke taman ini Rabu, 27 Maret 2013. Satu malam sebelum berkunjung Ciputra menghadiri acara penghargaan dari media Singapura, Channel News Asia, yang menganugerahinya penghargaan tertinggi Lifetime Achievement Luminary.
Meski tubuhnya menua pada usia 82 tahun Ciputra teliti melihat koleksi tanaman. Berbalut kaos biru lengan panjang, celana dan sandal hitam ia menaiki jalan naik turun dengan berbekal tongkat berkaki tiga yang berfungsi sebagai tempat duduk jika kelelahan.
Menurut pengusaha pemilik properti megah di Indonesia, Vietnam, Kamboja, dan Cina ini, nilai proyek Garden by the Bay diprediksi mencapai US$ 1,9 miliar atau hampir Rp 20 triliun. "Konsultan Botaninya dari seluruh dunia." Namun menurut dia untuk membangun taman serupa tidak perlu uang sebesar itu. “Kita bisa bangun lebih murah lagi,” katanya.
Pemilik Taman Hiburan Ancol ini mengklaim tengah mencari tanah 3.000 hektare untuk membangun taman dengan koleksi botani Indonesia dan negara lain. “Kita akan bangun di Jawa.” Ciputra meyakini ahli pertanian dalam negeri menguasai teknologi mengembangkan tanaman dengan media tanam buatan tersebut.
Bangunan yang megah yakni supertree (pohon dari beton yang permukaan luarnya dirambati tanaman), dan dua dome. Di dome Cloud Forest, misalnya, dibangun air terjun buatan setinggi lebih dari 30 meter. Ketika pengunjung masuk di dome ini, hempasan angin dan sejuknya udara menerpa muka dan kulit. Persis ketika berada di sekitar air terjun sebenarnya. Namun terpaan angin dan sejuknya udara bukan alami melainkan kerja dari mesin.
Beberapa tanaman belum bisa berdiri tegak dan daunnya melayu. Ini menandakan akar tanaman belum kuat dan menyatu dengan media tanamnya. Namun ketidaksempurnaan ini tertutupi dengan kemegawahan dan kelengkapan koleksi tanamannya.
AKBAR TRI KURNIAWAN (Singapura)