TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, menyatakan, praktek kartel dalam impor bawang tidak bisa dimungkiri. Penyebabnya, tidak lain berasal dari kebijakan pemerintah.
"Kebijakan pemerintah justru memayungi terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam praktek impor dan distribusi bawang," kata Enny ketika dihubungi, Selasa, 19 Maret 2013.
Indikasi kartel, kata dia, terlihat dari Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) yang dikeluarkan pemerintah. Sebanyak 50 persen kuota impor bawang putih tadi dikuasai oleh sebuah asosiasi yang terdiri dari 21 perusahaan.
Belum lagi masalah izin impor bawang yang diberikan melalui Pelabuhan Tanjung Perak, bukan Tanjung Priuk. "Itu sudah jelas suatu bentuk kebijakan yang memberi previlege kepada importir tertentu."
Sebelumnya, importasi bawang tidak pernah menjadi masalah, sebab dari sisi permintaan dan pasokan relatif tidak ada distorsi yang signifikan. Pasokan bisa datang kapan saja, dan tidak ada permintaan musiman.
Baca Juga:
Salah satu yang memicu terjadinya kartel adalah kebijakan pembatasan impor dengan alasan defisit neraca perdagangan. Padahal, untuk bawang, pemerintah sudah tahu ketergantungannya sangat tinggi.
Pembatasan impor ini kemudian diperparah dengan proses administrasi yang berbelit dan melibatkan banyak otoritas, dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, danBea dan Cukai. Ketika terlambat, bukannya mencari solusi, lembaga-lembaga pemerintah tersebut malah saling melempar tanggung jawab.
"Begitu banyak peraturan dan kebijakan yang fungsinya bukan mengatur, justru merusak struktur pasar dan dijadikan peluang bagi oknum tertentu untuk memburu rente," dia menegaskan. (Baca Topik Terhangat: Hercules Rozario || Simulator SIM Seret DPR || Harta Djoko Susilo || Nasib Anas)
GUSTIDHA BUDIARTIE
Baca juga
Penyelundupan 40 Ton Bawang Merah India Digagalkan
KPPU Menilai Bulog Bisa Menstabilkan Harga Bawang
Harga Bawang Naik, Produsen Kerupuk Stop Produksi