TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat keuangan syariah, Syakir Sula, menilai kasus gadai emas di BRI Syariah Semarang bisa berdampak buruk terhadap reputasi produk bank syariah lainnya. Menurut dia, Bank Indonesia dan bank terkait harus menyelesaikan masalah tersebut secara tuntas dengan nasabah.
"Harus diselesaikan dengan baik karena ini bisa jadi preseden buruk terhadap produk syariah lainnya," kata Syakir seusai seminar bertajuk "Strategi Meningkatkan Market Share Industri Keuangan Syariah" di Hotel Borobudur, Kamis, 4 Oktober 2012.
Apalagi, kata Syakir, yang mengadukan masalah produk gadai emas tersebut adalah tokoh seniman seperti Butet Kertaredjasa. Dia berharap agar masalah ini selesai tanpa merugikan nasabah. "Kalau bank bersangkutan tidak menyelesaikan dengan baik, akan berdampak pada reputasi syariah," ujar dia.
Syakir mengaku sudah lama mengkritik produk gadai emas karena sangat mudah disalahartikan. Maka tidak heran jika Bank Indonesia juga membatasi dan berhati-hati terhadap produk gadai. "Ini salah satu dampak jika satu produk tidak clear.”
Seniman Butet Kertaredjasa bersama delapan nasabah gadai emas BRI Syariah asal Semarang berencana mendatangi kantor Bank Indonesia. Mereka akan meminta mediasi bank sentral lantaran kasus sengketa layanan investasi tersebut.
Masalah ini bermula pada Agustus 2011, saat Butet dan beberapa orang menjadi nasabah gadai emas BRI Syariah. Ia membeli emas seberat 4,89 kilogram dengan nilai lebih dari Rp 2,5 miliar. Adapun modal yang dikeluarkan sebesar 10 persen dari harga emas, sisanya dibiayai BRI Syariah dengan cara mencicil setiap empat bulan. Seniman monolog ini pun dibebani biaya penyimpanan atau udjroh.
Namun, pada Februari 2012, BI mengeluarkan regulasi yang mensyaratkan nasabah harus memiliki emas sebelum bertransaksi gadai. Bank sentral juga membatasi perpanjangan gadai emas paling banyak dua kali. Selain itu, plafon pembiayaan gadai emas dibatasi maksimal Rp 250 juta untuk setiap nasabah.
Setelah regulasi itu terbit, BRI Syariah meminta nasabah, termasuk Butet, untuk menebus emas yang mereka biayai. Butet menolak karena saat itu harga emas sedang turun. Apalagi ia juga harus mengganti selisih dari 90 persen harga emas yang seharusnya dibiayai oleh bank.
Karena Butet terus menolak, pada Agustus 2012, BRI Syariah menjual semua emas Butet saat harganya rendah. Butet pun marah lantaran ia mesti menanggung utang Rp 40 juta akibat penjualan sepihak itu.
Menurut dia, bank tak berhak menjual emas itu tanpa persetujuannya sebagai pemilik. Apalagi dia memiliki uang dalam rekening BRI Syariah dan mengizinkan transaksi autodebit setiap empat bulan untuk menebus emas tersebut.
"Kalau ternyata ada kesalahan pada bank terkait, saya kira harus diberi sanksi supaya tidak berdampak buruk. Mudah-mudahan ini bisa selesai dengan baik," kata Syakir.
ANGGA SUKMA WIJAYA