TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany memperkirakan, dengan naiknya target rasio pajak menjadi 12,87 persen, negara akan mendapat tambahan pendapatan di sektor perpajakan sebesar Rp 14 triliun pada tahun depan.
"Itu tambahan untuk sektor perpajakan, termasuk untuk bea dan cukai," kata Fuad seusai rapat dengar pendapat di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI, Rabu, 26 September 2012.
Ia menyatakan, tambahan untuk sektor pajaknya sendiri diperkirakan mencapai Rp 10 triliun. Dengan demikian, jika ditotal, pendapatan dari pajak pada tahun depan bisa mencapai hingga Rp 1.040 triliun. Angka tersebut naik signifikan dibanding target penerimaan pajak di APBN-P 2012 yang sebesar Rp 968,3 triliun.
Semula, pemerintah keberatan dengan target yang dipatok oleh Badan Anggaran tersebut. Sebab, jika dihitung kemampuan optimal pemerintah dalam mencapai rasio pajak, hanyalah sebesar 12,7 persen sesuai dengan formula hitungan yang digunakan di dalam negeri.
Apalagi, tahun depan, pemerintah berencana menaikkan target pendapatan tidak kena pajak (PTKP) bagi masyarakat, dari yang semula dikenakan pada masyarakat dengan penghasilan minimal Rp 15,8 juta per tahun menjadi Rp 24,3 juta dalam setahun.
Oleh sebab itu, untuk menggenjot pendapatan negara dan mengejar rasio pajak, Ditjen Pajak akan mengejar dari sektor pajak penghasilan (PPh). Dalam hal ini, tidak hanya PPh perorangan, tapi juga PPh perusahaan.
PPh yang akan dikejar berasal dari sektor perkebunan, industri, dan pertambangan. Khusus untuk pertambangan, menurut dia, banyak perusahaan tambang yang belum tersentuh oleh pajak, bahkan tidak terdaftar. Terutama perusahaan-perusahaan tambang kecil dan menengah yang berstatus kuasa pertambangan (KP).
Penarikan pajak untuk KP ini diakuinya sangat sulit, mengingat banyaknya KP yang izinnya diterbitkan oleh daerah, tapi belum tertib administrasi di pusatnya. Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Pajak berkoordinasi tak hanya dengan pemerintah daerah setempat, tetapi juga Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara yang berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Ia mengeluh, koordinasi selama ini kerap terhambat karena proses yang lelet dari pemerintah daerah dan tidak adanya sinkronisasi dengan pusat. "Batu bara terus dikeruk, tapi penerimaan pajaknya kita tidak dapat, ini menyedihkan."
Fuad meminta agar lembaga yang berwenang mengawasi perizinan dan usaha tersebut segera melakukan tertib administrasi. Hal ini dilakukan agar pemerintah bisa mendapat akses untuk memungut pajak-pajak perusahaan tambang tersebut.
GUSTIDHA BUDIARTIE
Berita terpopuler lainnya:
Boeing Siap Bantu Industri Pesawat Indonesia
Bursa dan Bapepam Minta Penjelasan Bumi Resources
DPR:Produk Gadai Emas Bank Syariah Bermasalah
Laba Naik 79,7 Persen, Saham Japfa Layak Dibeli
Merpati Datangkan 60 Pesawat dari Hong Kong
Perbankan Sambut Baik Keputusan MK Soal Piutang