TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah memprediksi volume ekspor minyak sawit tahun ini bisa mencapai 21,62 juta ton atau senilai US$ 21,829 miliar. Volume ekspor minyak sawit ini naik 6,01 persen dibandingkan realisasi tahun lalu yang hanya 20,394 juta ton senilai US$ 15,413 miliar.
"Nilai ekspor minyak sawit itu terdiri dari Crude Palm Oil dan Palm Kernel Oil. Ekspor CPO saja mencapai 17,5 juta ton," kata Direktur Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan, ketika dihubungi, Kamis, 25 Agustus 2011.
Permintaan CPO yang kuat, terutama dari Asia, seperti Cina dan India. Selain itu, banyak pula potensi pasar baru yang terus berkembang, seperti Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin.
Jadi, walaupun permintaan dari Eropa Barat turun karena krisis utang, eksportir tidak khawatir akan berimbas besar pada kinerja ekspor.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir, menyebutkan harga komoditas perkebunan tahun ini lebih baik sehingga nilai ekspor bisa lebih tinggi.
Harga minyak sawit CPO sekarang sekitar US$ 1.050-1.075 per ton. Pada pertengahan tahun, harga CPO sempat di atas US$ 1.200 per ton.
Peningkatan ekspor minyak sawit juga didukung produksi yang terus meningkat. "Produksi CPO pada 2011 saja diperkirakan bisa mencapai 21,114 juta ton," kata Gamal. Produksi minyak sawit ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang hanya 19,76 juta ton.
Adapun pertambahan lahan kelapa sawit tahun ini mencapai 8,2 juta hektare. Lahan sawit lebih luas dibandingkan tahun lalu yang hanya 8,036 juta hektare.
Sementara itu, petani kelapa sawit memprediksi produksi kelapa sawit tahun ini lebih optimistis sehingga bisa menghasilkan CPO hingga 22,5 juta ton. "Jika kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 5 juta ton, wajar jika ekspor bisa mencapai 17 juta ton," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsyad.
Asmar menambahkan, pertumbuhan produksi kelapa sawit sekarang masih sangat rendah sebab tanaman kelapa sawit petani sudah tua dan produktivitasnya turun. Maka, kata dia, produksi bisa ditingkatkan dengan memanfaatkan lahan sawit yang menganggur. "Potensinya 3 juta hektare yang belum digarap," kata dia.
Lahan menganggur tersebut adalah milik perusahaan yang belum dimanfaatkan. Menurut dia, biasanya pengusaha punya izin lahan 10 ribu hektare, tapi yang ditanami hanya 5-6 ribu hektare saja.
"Maka, saat ada kebijakan moratorium seperti sekarang, lahan bisa dimanfaatkan atau diserahkan kepada petani untuk dimanfaatkan.”
EKA UTAMI APRILIA