TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Bank Indonesia (BI) akan menyelesaikan kasus kredit macet Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) korban gempa 2006. BI memberi surat teguran kepada bank yang mempersulit dan diskriminatif terhadap pelaku usaha itu.
Sesuai dengan kesepakatan, bank pemberi pinjaman tidak diperbolehkan melakukan segala bentuk penekanan dan diskriminasi. "Apalagi penyitaan dan pelelangan aset jaminan pinjaman saat proses penghapusan utang masih berjalan,” kata Deputi Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta, Luctor Etemergo Tapiheru, Kamis 30 Juni 2011.
Pantauan BI terkait keputusan Komisi XI dan Menteri Keuangan pada 8 Februari 2011 tentang penyelesaian kredit bermasalah korban gempa, telah berjalan 90 persen. Tapi, ia mengakui dalam pelaksanaan di lapangan ada hal lain yang berkembang di luar rencana dan agenda.
Luctor menyatakan, meski dikeluhkan berjalan lambat, proses terus berjalan. Hingga April 2011, laporan perbankan soal kredit macet UMKM berjalan dengan baik. Sejak Desember 2010 telah berakhir Peraturan Bank Indonesia (PBI) soal perpanjangan penangguhan penagihan utang UMKM korban gempa. Namun, BI telah mengupayakan supaya bank tidak diskriminatif.
“Bank supaya menghentikan tindakan diskriminatif dan intimidatif. Jika ada, kami segera meminta bank itu untuk menghentikan tindakan tersebut,” ujar Luctor.
Menurut Ketua komisi D DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahmad Sumiyanto, yang ikut mendampingi komunitas UMKM, legitimasi BI terhadap penyelesaian kredit macet UMKM korban gempa sangat penting supaya tidak ada penyitaan aset apalagi pelelangannya.
“Kuncinya ada di BI karena faktanya masih ada penyitaan aset dan pelelangan jaminan utang dari para pelaku UMKM korban Gempa,” kata Ahamd.
Ketua Komunitas UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta, Prasetyo Atmosutejo, menyatakan jika masih ada intimidasi atau diskriminasi terhadap pelaku UMKM korban gempa, para pelaku industri kecil itu akan terus berdemonstrasi di BI instasi lain, bahkan ke rumah Wakil Presiden Boediono di Yogyakarta.
“Kami berdemonstrasi karena ada intimidasi, diskriminasi, bahkan penyitaan aset. Lima tahun kami terpuruk, tapi penyelesaian tidak kunjung tiba,” kata Prasetyo.
MUH SYAIFULLAH