TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi mengatakan sebanyak 72 persen dari 1480 Peraturan Daerah dinilai menghambat iklim investasi yang baik. Menurut dia, mayoritas Perda ini bertentangan dan tidak mengacu kepada aturan yang lebih tinggi. Salah satu aturannya ialah Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Retribusi.
"Sebanyak 72 persen daerah dari 245 daerah dari survei kami belum merevisi Perda yang bertentangan tersebut," kata Agung di Jakarta, Selasa 7 Juni 2011.
Berdasarkan hasil survei KPPOD, dampak dari perda ini menimbulkan biaya transaksi yang meningkatkan biaya perusahaan, sehingga akan mengurangi daya saing. KPPOD mencatat pelaku usaha mikro harus membayar lebih mahal dibanding dengan pengusaha besar.
Sebagai perbandingan usaha mikro harus membayar retribusi Rp 48 ribu per tenaga kerja dan pajak sebesar Rp 65 ribu per tenaga kerja. Sedangkan pengusaha besar membayar Rp 14 ribu dan Rp 26 ribu per tenaga kerja. Di samping itu pelaku usaha juga masih harus membayar "biaya keamanan" kepada organisasi massa.
Hal yang sama ditegaskan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi yang mengatakan peraturan daerah menyebabkan biaya transaksi tinggi. "Perda lahirkan biaya transaksi yang tinggi," katanya.
Banyaknya perda yang bermasalah ini menurut Sofjan akibat dari tata kelola pemerintah yang belum baik. Oleh karena itu dia mengharapkan kepada pemerintah pusat untuk menghentikan pemekaran daerah. "Pemerintah harus berani mengevaluasi otonomi daerah," ujarnya.
Menteri Kordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan akan melakukan moratorium terhadap pemekaran daerah. Hatta setuju jika otonomi daerah yang sudah berjalan selama sepuluh tahun ini untuk dievaluasi.
ADITYA BUDIMAN