Hanya saja untuk menerapkan skema bantuan pangan pemerintah harus memiliki data akurat dan kemampuan teknis yang memadai. "Subsidi pangan itu harus datang tepat jumlah, tepat mutu, dan tepat waktu," kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika kepada Tempo Selasa (22/3).
Menurutnya, tidak sulit menghitung dampak kenaikan pangan terhadap daya beli masyarakat. Rata-rata 50 persen pendapatan rumah tangga masyarakat Indonesia dihabiskan untuk konsumsi pangan. Jika acuan inflasi seperti tahun lalu yaitu inflasi dari beras dan pangan menyumbang hingga 17 persen inflasi maka 60 juta masyarakat Indonesia rawan rangan.
Dari jumlah itu 30 juta merupakan masyarakat yang langsung terpapar oleh krisis pangan karena 70 persen penhasilannya dihabiskan untuk konsumsi pangan. 30 juta lainnya adalah masyarakat dengan penghasilan rendah yang jika terjadi kriris pangan dan lonjakan harga akan sulit menjangkau ketersediaan beras atau pangan.
Menghadapi ancaman krisis dan gejolak harga pangan, ia meminta pemerintah juga memperhatikan distribusi dan ketersediaan pasokan. "Persoalan gejolak harag pangan lokal tidak serta merta berasal dari faktor global," katanya.
Buruknya struktur pasar dalam melakukan distribusi pangan menjadi catatan penting baginya. Ditambah mekanisme pasar pangan yang cenderung oligopolis sehingga harga pangan cenderung dikenadilan oleh sekelompok orang.
Permainan harga oleh sekelompok orang inilah yang menurutnya sering menyebabkan kenaikan harga beberapa komoditas. "Makanya pemerintah harus melakukan sterilisasi di pasar distribusi."
Sebelumnya, Bank Dunia menyarankan pemerintah negara berkembang memberi bantualn langsung tunai (BLT) bagi masyarakat miskin untuk mengatasi harga pangan yang melonjak. Pengendalian harga dinilai hanya menguntungkan pedagang di pasar gelap. Sementara subsidi dinilai tak adil karena yang kaya pun bisa ikut menikmati.
IRA GUSLINA