Kerjasama Indonesia dan kawasan tersebut dalam kerangka Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) itu masih dalam tahap awal pembahasan. Saat ini, ekspor tekstil ke Eropa sebesar 18,5 persen dari US$ 11 miliar. Sebagian besar produk garmen, pakaian jadi.
"Indonesia hanya importir terbesar ke delapan di Eropa. Pangsa pasar masih di bawah 10 persen," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy, kemarin.
Menurut Ernovian, ekspor Indonesia ke Eropa masih kalah dengan produk asal India yang industrinya sudah sangat kuat. "Ketika Indonesia menargetkan ekspor US$ 14 miliar, target India sudah mencapai US$ 40 miliar," ujarnya.
Sementara, untuk pasar Eropa yang tergabung dalam European Free Trade Association (EFTA), industri tekstil Indonesia belum bisa menargetkan hal spesifik. Meskipun negara-negara yang tergabung dalam EFTA seperti Islandia, Norwegia, Swiss dan Liechtenstein memang membutuhkan pakaian hangat, tapi industri nasional belum bisa memproduksi tekstil jenis itu karena hambatan teknologi.
Pada pembahasan kerjasama perdagangan dengan Uni Eropa dan EFTA, pengusaha meminta pemerintah memperhatikan banyak hambatan non tarif yang diberlakukan di kawasan tersebut. Dua dari enam hambatan itu adalah aturan REACH (Registration, Evaluation, Authorization and Restriction of Chemicals) dan RED (Renewable Energy Directive).
Berbagai persyaratan itulah yang menyulitkan produk Indonesia menembus pasar Eropa. "Karena kamiharus menanggung biaya untuk persyaratan itu," kata Ernovian.
EKA UTAMI APRILIA