Pagi itu, pengurus Serikat Karyawan Telkom hendak menemui Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Dengan suguhan secangkir kopi dan makanan ringan, sahibulbait atawa tuan rumah menerima Wisnu dan kawan-kawan di ruang rapat. Sejam lebih Wisnu menjelaskan panjang-lebar sikap Serikat Karyawan Telkom yang menolak rencana merger TelkomFlexi dengan PT Bakrie Telecom--pemilik produk Esia. "Kami minta tolong agar Dipo menjelaskan kepada rekannya di pemerintahan maksud perjuangan kami," kata Wisnu kepada Tempo pekan lalu.
Rencana merger antara Flexi dan Bakrie Telecom sempat bikin panik serikat karyawan perusahaan pelat merah itu beberapa bulan ini. Mereka tegas menolak rencana tersebut. Dua pekan sebelum bertemu dengan Dipo, lebih dari 1.200 karyawan Telkom menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara menolak merger. Kebetulan Dipo bukan orang baru bagi mereka. Saat menjabat Deputi Menteri Koordinator Perekonomian, sembilan tahun lalu, Dipo memimpin tim mediasi sengketa Telkom dengan Aria West soal perjanjian kerja sama pengelolaan jaringan telepon di Provinsi Jawa Barat dan Banten.
Baca Juga:
Itu sebabnya, mereka bicara blakblakan kepada Dipo. Wisnu menegaskan karyawan Telkom siap turun ke jalan lagi dalam jumlah lebih besar jika pemerintah tak menggubris tuntutan mereka, yakni agar pemerintah menghentikan rencana merger dengan Esia dan mengganti komisaris dan direksi yang memaksakan rencana itu. Di akhir pertemuan, Wisnu menitipkan surat buat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Kami minta Presiden turun tangan."
Sumber Tempo di lingkaran Istana membisikkan Dipo langsung bergerak
cepat setelah bertemu dengan Serikat Karyawan Telkom. Surat aspirasi pekerja Telkom diserahkan kepada Presiden Yudhoyono. Dipo juga mengirimkan pesan pendek kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar, yang ditembuskan kepada Menteri Perekonomian Hata Rajasa dan Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi.
Isi pesan pendek Dipo memberitahukan ihwal penolakan Serikat Karyawan Telkom atas rencana merger dengan Bakrie Telecom. Dipo mengingatkan Menteri Mustafa agar memperhatikan aspirasi itu untuk menghindari berulangnya kisruh penjualan saham perdana Krakatau Steel "yang menimbulkan diskursus publik yang melelahkan dan meningkatkan kebencian publik pada isu lagi-lagi penjualan aset negara". "Mustafa juga diminta melapor ke Presiden sebelum rapat pemegang saham 17 Desember," kata sumber Tempo menirukan pesan Dipo.
Baca Juga:
Menurut Dipo, keputusan merger atau tidak merupakan wewenang manajemen dan pemegang saham. Tapi keputusan akan sangat baik bila juga memperhitungkan semua aspek. "Harus dihitung untung-ruginya dan bagaimana pendapat semua pemangku kepentingan, termasuk serikat karyawan," ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
***
KEINGINAN manajemen Telkom mengawinkan Flexi dan Esia sudah terdengar sekitar tiga tahun lalu. Ide itu muncul setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika memindahkan frekuensi Flexi dari 1.900 megahertz (MHz) ke spektrum 800 MHz. Di frekuensi baru itu, ternyata Flexi hanya mendapat 5 MHz dari sebelumnya 10 MHz karena harus berbagi sama besar dengan pemain CDMA lainnya, seperti StarOne Indosat, 5 MHz, dan Esia. "Lebar pita 5 MHz tak cukup, terutama untuk mengembangkan bisnis data," kata sumber Tempo.
Ada dua opsi untuk mengatasi masalah ini. Bisa ditempuh melalui merger dengan operator CDMA lainnya atau membangun sistem bertingkat pada spektrum yang ada. Opsi kedua dinilai sangat mahal, sehingga opsi pertama dipilih. Telkom pun mendekati Mobile-8 dan Sampoerna Telecom. Ternyata belakangan juga dengan Bakrie Telecom, pemilik Esia.
Banyak pihak heran lantaran manajemen Telkom lebih memilih Bakrie Telecom. Sumber Tempo mengingatkan, dari sisi bisnis CDMA, kapasitas frekuensi Esia sudah sama penuhnya dengan Flexi. Padahal merger ditempuh untuk memperlebar pita frekuensi. Apalagi utang Bakrie Telecom, kata dia, bejibun sehingga berpotensi membebani perusahaan hasil merger. Laporan keuangan Bakrie Telecom per akhir September 2010 (unaudited) menunjukkan utangnya mencapai Rp 7,04 triliun.
Komisaris Utama Telkom Tanri Abeng membenarkan pilihan direksi tersebut. Menurut dia, sejak dua setengah tahun lalu manajemen sudah mempelajari masa depan Flexi yang secara bisnis sukar dikembangkan. Walhasil, ada dua opsi: dijual atau dikonsolidasikan. Pilihan jatuh pada opsi terakhir. Tanri membenarkan bahwa Telkom juga menjajaki bersinergi dengan Sampoerna Telecom dan Mobile-8, bahkan dengan SK Telecom (Korea). "Tapi yang paling baik dan tepat dengan Bakrie Telecom, karena bisnisnya sama-sama besar," katanya pekan lalu.
Sejak itulah pembahasan bersama Bakrie Telecom dimulai. Menurut Tanri, Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk Anindya Bakrie dan Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah sudah sering bertemu membicarakan rencana ini. "Mereka saling menjajaki bagaimana rencana bisnis masing-masing ke depan," kata Tanri.
Direktur Layanan Korporat Bakrie Telecom Rahmat Junardi membenarkan bahwa pembicaraan ihwal rencana merger masih berlangsung. Masih banyak yang harus dipertimbangkan dan akan diumumkan bila keputusan sudah final. Yang jelas, menurut Rahmat, penggabungan bisnis Flexi dan Esia akan menguntungkan Telkom dan Bakrie Telecom, terutama karena frekuensi yang ada saat ini memang terbatas. "Semakin cepat bisa dipastikan hasilnya tentu semakin baik," katanya kepada Tempo pekan lalu.
Head of Corporate Communication Telkom Eddy Kurnia menegaskan pembicaraan merger Flexi dan Bakrie Telecom baru tahap awal, belum sampai melakukan uji tuntas secara finansial. "Belum ada keputusan apa pun," ujar Eddy pekan lalu. Manajemen, kata Eddy, masih terus mengkaji dengan mempertimbangkan masukan dari eksternal dan internal perseroan, termasuk serikat karyawan. "Sedang dikaji masalah regulasinya, aspek teknis, persaingan usaha, lisensi, hingga sumber dayanya," ujar Eddy.
Berbeda dengan Eddy, sumber Tempo mengungkapkan bahwa Telkom dan Bakrie Telecom sudah membahas intensif rencana merger tersebut. Jalur masuk Anindya ke lingkungan manajemen Telkom tak lain melalui Tanri Abeng yang pernah menjabat Chief Executive Officer Grup Bakrie pada 1998. Namun Tanri membantah memfasilitasi Anindya. "Ini murni bisnis Anindya," katanya. Menurut Tanri, proses merger siap dilanjutkan ke tahap penandatanganan nota kesepahaman. "Tapi belum bisa dilakukan karena ribut-ribut bergeser ke wilayah politik," kata Tanri kepada Tempo.
Skema mergernya juga sudah dibahas, antara lain Bakrie Telecom akan menerbitkan saham baru (rights issue). Telkom mengambil saham baru itu, tapi tidak dengan uang tunai, melainkan dibayar dengan aset Flexi, termasuk sumber daya manusianya. Namun pembahasan masih alot karena Telkom dan Bakrie Telecom sama-sama ingin mayoritas. Bakrie Telecom ingin mayoritas karena merasa asetnya lebih besar ketimbang aset TelkomFlexi.
Tarik-ulur pun tak terhindari. Telkom ingin nama produk perusahaan baru FlexiEsia, tapi sebaliknya, Bakrie ingin EsiaFlexi. Belakangan, Bakrie Telecom mengendur dan bersedia menjadi minoritas dalam perusahaan baru hasil merger. "Aturan pemerintah menyebutkan bahwa perusahaan negara harus mayoritas di perusahaan patungan," ujar sumber ini. "Secara politik juga tak bagus bila Telkom minoritas di bawah Grup Bakrie."
Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu juga mengaku telah lama mengetahui rencana ini. "Itu aksi korporasi biasa," ujarnya. Di mata dia, merger Flexi dan Bakrie Telecom menjadi ramai karena sudah memasuki wilayah politik. "Seharusnya urusan aksi korporasi jangan dievaluasi secara politik," ujarnya.
Rencana merger yang sudah di depan mata itulah yang membuat Serikat Karyawan Telkom tersengat. Mereka tak mau kecolongan, lalu bergerilya menolak rencana merger. Dalam rapat umum pemegang saham luar biasa Telkom dua pekan lalu, agenda rencana merger ini dicoret. Hanya dewan komisaris yang diganti, termasuk Tanri, komisaris utama. "Sikap kami tetap, dan kami siap berbicara dengan manajemen baru," kata Wisnu Adhi.
AGOENG WIJAYA, PADJAR ISWARA