Meski tidak dibebankan kepada pembeli tetap saja resiko penjualan penyedia makanan dan minuman ini akan mengalami penurunan.
“Usaha yang tergabung dengan kami adalah jenis catering, tetapi mereka juga merambah ke usaha restoran dan kantin. Tapi mereka tetap mendaftar sebagai usaha jenis kantin saja,” kata salah satu pengurus Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia (APJI DKI), Kadin DKI, Mohamad Reza, Kamis (2/12).
Menurut Reza, dengan pemberlakukan pajak restoran terhadap usaha jasa boga yang memiliki omzet di atas Rp 60 juta, akan menyebabkan penurunan keuntungan pengusaha kantin. Karena pengenaan pajak 10 persen tersebut dibebankan pembeli makanan dan minuman.
Dewinta Stanny, 21 tahun, salah satu konsumen jasa boga mengatakan, pemberlakuan pajak restoran ini akan merugikan konsumen, karena pembeli usaha jasa boga kecil seperti warung tegal, adalah warga ekonomi lemah. “Sebaiknya Pemprov DKI menata ulang kebijakan tersebut,” tutur Dewinta.
Sebelumnya DKI akan menerapkan Pajak Restoran kepada semua jenis usaha jasaboga DKI yang beromset lebih dari Rp 60 juta pertahun. Pemberlakukan pajak ini mulai diterapkan pada 1 Januari 2011. Perda tersebut sudah disetujui DPRD DKI, dan tinggal menunggu diberikan penomoran sebagai Peraturan Daerah. Dengan aturan ini, harga makanan dan minuman di warteg akan naik 10 persen
Pemprov DKI berdalih, pemberlakuan pajak tersebut karena usaha jasa boga yang beromset Rp. 60 juta pertahun sudah masuk dalam prasyarat objek pajak menurut Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan pengenaan pajak baru itu, Pemprov DKI bisa meraup pajak sekitar Rp 50 miliar pertahun.
RENNY FITRIA SARI