TEMPO Interaktif, Jakarta -Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama Mei 2010 pertumbuhan ekspor mencapai US$ 12,52 miliar. Sedangkan impor mencatatkan penurunan ke level US$ 10,06 miliar. "Kalau ekspor masih naik sekitar 4,06 persen dibandingkan bulan lalu sedangkan impor turun 10,50 persen," ujar Rusman Heriawan, Kepala BPS di kantornya, hari ini.
Rusman menjelaskan, secara year on year ekspor mengalami kenaikan sebesar 36 persen dan impor mengalami kenaikan 31,6 persen. Secara total dari Januari tahun ini ekspor mencapai US$ 60,1 miliar atau naik 47, 68 persen dibandingkan periode yang sama 2009. Dan total impor sampai Mei 2010 mencapi US$ 51,25 miliar atau meningkat 47,29 persen dibanding tahun lalu. Ia menambahkan, secara keseluruhan, selama Mei lalu neraca perdagangan surplus US$ 2,47 miliar atau US$ 8,4 miliar secara kumulatif.
Rusman mengatakan, kenaikan ekspor pada Mei lalu didorong oleh ekspor nonmigas yang meningkat sebesar 4,3 persen dari US$ 9.830,6 juta pada April menjadi US$ 10.253,6 juta pada Mei. Sedangkan di sektor migas, ekspor juga mengalami peningkatan sebesar 2, 97 persen dari US$ 2.204,6 juta menjadi US$ 2.270 juta. "Bulan Mei ekspor nonmigas lebih dominan dibandingkan migas," ujar Rusman.
Ia menjabarkan, di sektor migas peningkatan ekspor terjadi di ekspor minyak mentah sebesar 4,63 persen dan ekspor hasil minyak sebesar 17, 22 persen. "Ekspor minyak mentah naik menjadi US$ 783,7 juta dan hasil minyak jadi US$ 382,7 juta," ujar Rusman. Untuk gas, selama bulan Mei 2010 terjadi penurunan ekspor sebesar 2,26 persen menjadi US$ 1.103,6 juta.
Berdasarkan volume, ekspor minyak mentah dan gas mencatatkan kenaikan sebesar 15, 62 persen dan 0,02 persen, sebaliknya ekspor hasil minyak mengalami penurunan sebesar 11,76 persen. "Harga minyak mentah Indonesia di dunia juga mengalami penurunan dari US$ 85,54 per barel pada April menjadi US$ 77,02 per barel di Mei 2010," ujar Rusman.
Peningkatan ekspor nonmigas pada Mei didorong oleh bijih,kerak, dan abu logam sebesar US$ 160,6 juta. Adapun penurunan terbesar terjadi pada bahan kimia organik sebesar US$ 109,2 juta.
Di bidang impor, penurunan impor jika dibandingkan bulan April lalu disebabkan oleh penurunan impor nonmigas sebesar US$ 687,4 juta atau 7,89 persen dan juga penurunan ekspor migas yang juga turun sebesar US$ 492,4 juta atau 19,52 persen. Di sektor migas, penurunan impor terjadi di semua sektor- minyak mentah, hasil minyak dan gas-. Penurunan masing-masing sebesar US$ 28,8 juta (4,03 persen), US$ 427,8 juta (24,57 persen), dan US$ 35,8 juta (53,35 persen).
Disektor nonmigas, meskipun secara total mencatatkan penurunan, kenaikan terjadi pada dua golongan barang jika dibandingkan dengan April lalu. "Kedua golongan barang tersebut adalah besi dan baja yang meningkat sebesar US$ 64,6 juta atau 15 persen, sementara mesin dan peralatan listrik naik sebesar US$ 50,4 juta atau 4,61 persen," ujar Rusman.
Berdasarkan negara asal dan tujuan, sepanjang 2010 Indonesia mencatatkan defisit perdagangan dengan Cina, Thailand, Singapura dan Australia. Menurut data yang dipaparkan Rusman, Indonesia mencatatkan defisit US$ 2,11 miliar akibat ketergantungan produk tekstil dan elektronik dari negeri tirai bambu tersebut.
Dengan Thailand, defisit tercatat US$ 1,51 miliar akibat perdagangan buah-buahan dan produk pertanian lainnya. Adapun dengan Australia, impor daging sapi, garam dan hasil tambang mengakibatkan defisit senilai US$ 738,1 Juta. Dan dengan Singapura defisit perdagangan mencapai angka US$ 202,6 juta.
Surplus perdagangan Indonesia tercatat berasal beberapa negara, yaitu Amerika Serikat, Korea Selatan AS, Inggris, Jerman, dan Perancis. "Surplus terbesar dengan Amerika sebesar US$ 1,5 miliar dan Korea Selatan sebesar US$ 784 juta," jelas Rusman.
Rusman memperkirakan, surplus perdagangan Indonesia akan semakin membesar di semester kedua 2010. Ia beralasan, kebijakan Cina untuk menguatkan nilai tukar Yuan dapat berdampak positif bagi Indonesia. "Kalau Yuan menguat, komoditas Indonesia bisa lebih kompetitif," ujarnya.
Ia menambahkan, perbaikan kondisi ekonomi Eropa yang tengah berlangsung diperkirakan akan mendorong juga neraca perdagangan Indonesia. "Saya kira ke depannya akan lebih baik karena pemulihan ekonomi global juga sedang berlangsung.'
FEBRYAN