"Masih lama penerapannya karena peraturannya pun belum ada," kata Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Kementerian Perhubungan Elly Sinaga di Jakarta, Senin (10/5). Undang-undang Lalu Lintas ebetulnya sudah mengatur sistem ERP sebagai cara membatasi lalu-lintas. Namun sistem retribusi itu terbentur Undang-undang Pajak dan Retribusi Daerah.
Undang-undang Pajak tidak mencantumkan retribusi dari sistem ERP tapi menyebutkan kriteria pungutan lainnya. Sehingga harus ada Peraturan Pemerintah yang mencantumkan pungutan ERP sebagai retribusi jasa umum. Rancangan Peraturan Pemerintah itu masih dibahas oleh antardepartemen yakni Kepolisian, Pekerjaan Umum, Perindustrian, dan Perhubungan. Rancangan tersebut ditargetkan rampung Juni nanti.
Setelah itu selesai, kata Elly, masih butuh waktu untuk membangun sistem, termasuk kartu dan gerbang pembayaran. Kemungkinan pemerintah akan membuka peluang bagi swasta untuk membangun sistem itu. "Nanti pakai sistem bagi hasil karena tidak mungkin pemerintah juga sebagai operator," ujarnya.
Namun, belum diputuskan model ERP mana yang akan ditetapkan. Di beberapa negara ada yang menerapkan ERP tanpa melihat jumlah penumpang. Tapi di Amerika Serikat ada sistem yang bisa menyensor berapa jumlah penumpang dalam satu kendaraan. "Untuk sementara kami berlakukan ERP untuk semua, baik yang berpenumpang tiga atau tidak," katanya.
Ely memaparkan sistem ini sudah dikaji sejak beberapa tahun lalu. Beberapa persiapan juga sudah dilakukan termasuk mensurvei berapa besaran retribusi yang pas. Dari hasil kajian itu didapatlah harga Rp 20.000 untuk kendaraan roda empat dan Rp 7.000 kendaraan roda dua. Tapi besaran retribusi itu belum diputuskan.
Ia mengatakan, sistem 3 in 1 yang sudah berjalan selama enam tahun di Jakarta tidak efektif. Pengguna kendaraan lebih memilih membayar joki. Ia menegaskan sistem ERP baru bisa diterapkan jika kualitas angkutan umum sudah ditingkatkan. "Kalau sekarang, kan, belum oke," ujarnya.
DESY PAKPAHAN